Hasil penelitian mengungkapkan, perilaku orangtua meningkatkan risiko anak berpotensi menjadi seorang
pembully. Mereka meniru tingkah laku yang mereka lihat sebelumnya dari orangtua atau anggota keluarga lain. Inilah perilaku orangtua yang membuat anak menjadi bully:
- Menggosip di depan anak. Kebiasaan bergosip di depan anak, secara tidak sengaja mengirimkan pesan pada anak bahwa menggosip adalah sesuatu yang bisa di terima dan kegiatan menyenangkan di waktu luang. Satu saat, dia bisa menggunakan gosip untuk menceritakan tentang temannya yang belum tentu benar dan melukai temannya. Banyak ahli mengkategorikan gosip sebagai salah satu bibit bullying karena akan membuat orang lain tertekan.
- Mendorong jika tak suka. Ada kebiasaan yang secara tidak sadar dilakukan, yaitu, merasa risih jika anak terlalu dekat, saat Anda menelpon atau melakukan sesuatu yang penting, lalu mendorongnya untuk menjauh. Namun bagi anak dorongan itu bisa merupakan sinyal bahwa tindakan fisik mendorong itu wajar dilakukan jika ia tidak menyukai seseorang. Satu saat, ketika ia tidak suka temannya mendekat saat ia sedang main, dengan ringan ia akan mendorongnya. Bahkan mungkin tidak hanya mendorong melainkan menendang atau memukul.
- Semena-mena terhadap orang lain, biasanya ditujukan lewat ucapan dan perilaku terhadap orang yang dianggap berposisi lemah seperti asisten rumah tangga. Saat menyuruh, misalnya, dengan berteriak dan memerintah. Jika ia melakukan kesalahan memarahinya di depan anak sambil menunjuk-nunjuk dan melotot. Menurut penelitian, orangtua dari anak pem-bully biasanya mempunyai sikap diskiriminasi yang didasari atas ras, perbedaan kelamin, juga status sosial.
- Menuntut prestasi anak secara berlebihan. Misalnya, anak dipaksa untuk ikut les piano, matematika, dan banyak lagi hingga ia kehilangan waktu melakukan sesuatu yang disukai. Tujuan orangtua ingin anaknya di posisi teratas dan temannya di bawah. Orangtua hanya memberikan hadiah jika anak mendapatkan posisi teratas. Hal tersebut bisa menimbulkan sikap agresif anak kepada temannya yang dianggap sebagai ancaman. Tuntutan ini juga akan menyulitkannya memiliki sikap toleransi dan empati kepada orang lain.
- Menegakkan disiplin dengan kekerasan. Terbayang kesalnya jika anak tidak mau mengikuti perintah. Namun atas nama disiplin, saat habis kesabaran, melayang tangan memukul pantat atau mencubitnya disertai kata-kata yang melukai perasaannya. Kemudian hari anak mungkin akan mendengar dan mengikuti perintah Anda karena takut. Namun, kekerasan itu akan membekas di hatinya. Anak yang sering mengalami kekerasan dari orangtua, cenderung menunjukkan perilaku yang agresif, yang terkadang mengarah ke brutal.
- Perlakuan karena perbedaan gender. Ayah yang menunjukkan otoritas berlebihan kepada ibu dapat memberikan pesan pada anak bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah dan perlu dikontrol. Akibatnya, anak akan memandang teman perempuannya sebelah mata. Jika menimbulkan trauma, anak perempuan juga bisa melakukan hal serupa terhadap anak lelaki sebagai balas dendam. Maka, sudah seharusnya hubungan antara ayah, ibu, dan anak terjalin tanpa melihat dia laki-laki atau perempuan, tapi sebagai makhluk Tuhan yang berhak menerima kebaikan.
- Sikap mengontrol berlebihan akan menanamkan keyakinan pada anak bahwa mengkontrol seseorang atau sesuatu yang ada di sekitar mereka adalah hal yang lumrah. Namun kontrol yang berlebihan juga bisa menyebabkan anak menjadi terlalu patuh dan tidak kreatif. Kelak ketika ia berteman akan menuntut teman-temannya mengikuti apa yang ia mau. Jika tidak ia tidak akan menolak untuk berteman.
- Mononton film action. Para ahli psikolog sepakat, bahwa tindakan bullying anak banyak diinspirasi oleh tontonan di televisi. Maka, jika Anda menyukai film action tunggu hingga anak tidur. Ketika anak belum dapat membedakan mana yang baik dan buruk, anak cenderung untuk meniru apa yang dilihat. Tidak hanya film action, sinetron Indonesia juga dengan gamblang menampilkan aksi kekerasan.(me)
Baca juga: Jika Anak Menjadi Pem-bullyTeman Balita Suka Mem-bullyBalita Korban Bully