Sebagai orang dewasa, mudah bagi kita memahami bahwa pernikahan tak selamanya berlangsung sesuai harapan dan rencana. Setiap orang berubah, perubahan berdampak pada penyesuaian kebutuhan; termasuk kebutuhan untuk diperhatikan dan dicintai. Kondisi ini berisiko mengubah perasaan pada pasangan, rasa cinta berkurang, atau jatuh cinta pada orang lain, hingga akhirnya berujung pada keputusan untuk berpisah.
Entah apapun penyebabnya, perpisahan selalu menciptakan kesedihan bagi pihak yang merasa ditinggalkan, atau dikhianati. Akan lebih mudah kondisinya jika perpisahan hanya melibatkan pasangan. Tetapi jika sudah ada anak di antara pasangan, ceritanya tentulah menjadi lebih kompleks dan spektrumnya cenderung lebih kaya.
Mengatasi perubahan. Hal inilah yang dihadapi Dina (bukan nama sebenarnya) seorang perempuan karier berusia 38 tahun. "Perpisahan adalah keputusan bersama saya dan mantan suami. Ketika itu terjadi empat tahun yang lalu, kami merasa sudah terlalu jauh berkembang sendiri-sendiri. Sudah sulit menemukan kesamaan di antara kami. Bahkan untuk hal-hal yang menyangkut kebutuhan praktis anak, kami sulit menemukan kata sepakat. Kami lebih sering bertengkar daripada berdiskusi, dan sepertinya perpisahan adalah satu-satunya yang terbaik," ungkap Dina mengenang keputusan bercerainya dulu.
"Dua kesepakatan kami adalah, bercerai demi kebaikan masing-masing, dan memastikan putri tunggal kami yang ketika itu berusia 2 tahun, tidak mengalami dampak negatif akibat keputusan kami itu," tegas Dina. Tetapi kemudian Dina menceritakan bahwa saat proses perceraian berlangsung, dan mantan suami tidak lagi tinggal serumah dengannya, putri tunggalnya cenderung murung, mudah menanggis, bahkan sering mengalami mimpi buruk.
"Saya membicarakan hal ini pada mantan suami, dan kami merasa perlu segera melakukan sesuatu. Kami tidak mau, keputusan yang melegakan kami justru menjadi hal yang menghantui putri kami. Suami memahaminya, dan kami bersepakat untuk suami kembali tinggal di rumah setiap akhir minggu, hingga proses selesai dan kami resmi bercerai," kata Dina menjelaskan.
Benarkah langkah yang dilakukan Dina dan mantan suaminya? Menurut Judith S. Wallerstein, Ph.D dalam bukunya What About the Kids: Raising Your Children Before, During, and After Divorce. Perceraian dan perpisahan orang tua membuat anak takut, tanpa memandang usia sang anak. Hal ini disebabkan anak berpandangan, jika orang tuanya bisa saling menyakiti dan meninggalkan, maka akan ada saatnya pula orang tua meninggalkannya.
Anak membutuhkan keyakinan bahwa hal yang dipikirkannya tidak benar. Sekalipun demikian, rasa aman yang ditumbuhkan pada anak bukanlah rasa aman yang semu. Anak perlu mengetahui bahwa keberadaan ayah dan ibu bersamanya, bukan berarti meralat keputusan untuk bercerai, namun orang tua tetap ada demi dirinya, dan bahwa ia tidak akan kehilangan kasih sayang mereka, hanya karena bercerai.
Menjalin hubungan baik. Sebagai seorang ibu, Dina sangat beruntung. Ia masih sepaham dengan suami, bahkan Nanta (bukan nama sebenarnya), sang mantan suami masih sangat mendukungnya dalam hal pengasuhan anak. Tidak semua pasangan seberuntung Dina dan Nanta. Umumnya sebelum, selama, dan setelah proses perceraian, pasangan mengalami konflik hebat yang membuat mereka saling menyakiti. Hal ini cenderung sulit dihindari, tetapi sebaiknya dipikirkan baik-baik terutama jika pasangan yang mengalaminya memiliki anak.
Sekalipun tidak bisa berbaik-baik pada pasangan, sebaiknya Anda dan pasangan mengingat bahwa sebagaimana pernikahan adalah keputusan Anda berdua, maka semua risiko yang terjadi setelahnya adalah tanggung jawab berdua. Jangan menimpakannya pada anak. Pemikiran ini sebaiknya menjadi dasar sikap Anda ketika menghadapi perceraian.
Agar dampak proses perceraian dapat diminimalisasi pada anak, pastikanlah Anda dan pasangan melakukan langkah-langkah berikut ini:
Sampaikan baik-baik. Anak mengingat saat-saat orang tua menyampaikan berita perceraian dalam waktu yang sangat panjang. Karena berita ini membuatnya panik, menguncang rasa aman dirinya. Idealnya berita ini disampaikan bersama-sama pada anak oleh Anda dan pasangan. Sampaikan bahwa keputusan itu diambil untuk kebaikan bersama. Jelaskan juga bahwa pernikahan ini diawali oleh cinta, dan sebenarnya Anda mengharapkan untuk selalu bersama. Tetapi setelah dijalani hal tersebut tidak terlaksana. Ungkapkan juga bahwa Anda sebenarnya sedih dan kecewa. Pastikan pula bahwa perpisahan ini bukan salah anak, Anda dan pasangan tetap akan mencintai mereka dan selalu menemani mereka sekalipun berpisah.
Jangan saling menjelekkan. Sekalipun tergolong sulit, sebaiknya Anda tidak mengungkapkan hal-hal buruk tentang pasangan. Jika Anda butuh bercerita atau ingin curhat tentang pasangan, pastikan anak tidak mendengar apapun.
Tidak mengabaikan. Hal yang menjadi masalah pada anak-anak korban perceraian adalah mereka selalu menduga-duga tentang kepastian mendapat perhatian dari orang tua. Karenanya sebaiknya Anda dan pasangan selalu menepati janji dan jadwal yang berhubungan dengan anak.
Masa transisi. Kondisi yang paling menegangkan bagi anak adalah ketika dia pergi meninggalkan orang tua yang satu ke orang tua yang lain. Hal ini disebabkan karena anak merasakan ketegangan di antara kedua orang tuanya. Atasi kondisi ini dengan memberi penguatan positif bahwa Anda dan pasangan mencintai mereka, dan sangat ingin mereka menikmati suasana yang gembira ketika berada bersama Anda ataupun pasangan.
Tenggang rasa. Umumnya orang tua berpikiran bahwa agar semuanya berjalan lancar, peraturan yang diterapkan ketika anak bersama ibu haruslah konsisten diterapkan saat ia ada bersama ayah. Sebenarnya tak perlu demikian, tak perlu membuat perdebatan baru dengan mantan. Anak yang paling kecil sekalipun bisa menemukan dan memahami bahwa ayah dan ibunya berbeda, demikian pula aturan ketika dia bersama ayah atau ibunya.
Kepentingan bersama. Jika Anda adalah orang tua yang mendapatkan mandat perwalian anak, pastikan bahwa mantan pasangan tahu bahwa Anda sangat menginginkan keterlibatannya dalam kehidupan anak. Hal ini akan membuat mantan pasangan merasa lebih nyaman ketika ia akan bertemu dengan anak.
Menikmati hubungan baru. Sekalipun semula tidak terpikirkan, sebaiknya sejak awal dipahami bahwa Anda ataupun pasangan memiliki kemungkinan menjalin hubungan baru. Pastikan Anda siap menghadapi situasi ini.
Hal yang penting untuk diingat bahwa reaksi dan dampak perceraian terhadap anak sebenarnya dapat diatasi jika Anda dan pasangan memberi dukungan yang positif pada anak sejak awal. Tetapi jika perceraian Anda sudah terlanjur mengarah ke situasi yang negatif, tidak pernah ada kata terlambat untuk memperbaikinya, karena anak-anak Anda membutuhkannya, berapa pun usia mereka!
Reaksi Anak Menghadapi Perceraian?
- 0 - 3 tahun. Anak yang masih sangat muda sepertinya tidak terlalu mengalami imbas perceraian, tetapi bayi sejak berusia 2 bulan, sebenarnya sudah bisa merasakan ketegangan yang terjadi di antara orang tuanya. Jika proses perceraian terjadi, upayakanlah agar aktivitas rutin bersama anak tidak berubah. Penuhi segala kebutuhan dan kelengkapan yang bisa membuatnya merasa nyaman.
- 3 - 5 tahun. Anak berusia pra-sekolah cenderung paling berat mengalami dampak perceraian, karena mereka sedang memupuk rasa aman. Perubahan sikap yang terjadi bisa berupa; cengeng, mudah marah, serta berbagai sikap negatif lain. Anak di usia ini cenderung berpikir bahwa merekalah penyebab perceraian orang tuanya, sehingga membutuhkan sangat banyak penguatan.
Psikolog, Dra. Sugiarti Musabiq, M.Kes, mengungkap pentingnya ayah dan ibu yang telah berpisah untuk mengnyampingkan kepentingan diri sendiri. "Perceraian, bagaimanapun prosesnya, memang tetap mengandung konflik dan mempengaruhi emosi pasangan maupun anak. Senantiasa ada masa transisi yang relatif berat. Masa transisi yang dimaksud adalah perubahan keadaan yang semula tenang menjadi bergejolak karena ketidaksepahaman maupun konflik antara pasangan, yang mau tidak mau berefek pada sikap, tingkah laku dan perkataan, baik yang disadari maupun tidak".
Menurutnya lagi, warna, intensitas konflik, serta ketegangan yang terjadi sangat tergantung pada penyebab perceraian. Seperti latar belakang perceraian Dina-Ananta, yang bebas dari masalah orang ketiga tetap berdampak pada mimpi buruk dan kesedihan putrinya. Apalagi jika latar belakang perceraian diperburuk oleh perselingkuhan, disertai cemburu, marah, kecewa; maka akan sangat keruh atmosfer yang terasa sepanjang masa menjelang hingga proses perceraian secara legal berlangsung.
Kondisi inilah, menurut Sugiarti, seringkali tidak terpikirkan oleh pasangan yang menjalani proses perceraian. Hal ini sebenarnya tidak mudah, karena pada pasangan yang akan bercerai, umumya mereka sudah lelah dengan beban perasaan-perasaan negatif selama konflik terjadi. Padahal, status anak, tidak berubah. Sekalipun orang tua berpisah, mendidik anak adalah tanggung jawab bersama.
Agar hubungan tetap baik setelah perceraian, sebaiknya ayah dan ibu membuat kesepakatan jadwal rutin kegiatan bersama anak, agar anak tetap merasakan bahwa kedua orang tua tetap menyayangi dirinya. (Foto/Dok.Femina Group)