Anak dengan sindrom spektrum autisme cenderung meningkat beberapa tahun terakhir. Gangguan spektrum austime merupakan salah satu dari gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental disorders/PPD) yang melibatkan gangguan komunikasi dan kemampuan sosial, perilaku serta kognitif.
Seorang anak penyandang autisme mempunyai dunia yang berbeda dengan anak yang bukan penyandang. Ia sulit mengekspresikan dirinya menggunakan kata-kata dan bereaksi terhadap lingkungan dengan cara yang tidak biasa. Sindrom yang juga termasuk dalam PDD adalah Asperger dan Rett.
Para ahli sepakat bahwa penyandang autisme harus menghilangkan sumber peptida (sejenis zat medium yang terbentuk dari asam animo yang mempunyai ciri khas protein tapi tidak sama dengan protein), yaitu gluten (protein dari gandum) dan kasein (protein dari susu).
Anak autis harus menjalankan diet yang disebut Diet GF-CF (Gluten-free dan Casein-free). Selain diyakini dapat memperbaiki gangguan pencernaan, juga bisa mengurangi gejala atau tingkah laku autisme anak.
Meski sampai sekarang masih menjadi perdebatan soal pengaturan jenis makanan yang memperparah gejala autisme, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa mengurangi gluten dan kasein membuat anak penyandang autisme menunjukkan perbaikan, yang tampak dari membaiknya perilaku anak. Selain harus bebas gluten dan kasein, makanan lain yang juga dilarang adalah makanan yang mengandung ragi, makanan yang difermentasikan dan gula.
Penelitian Dr. dr Sri Achadi Nugraheni, ahli gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang dalam Inilah.Com tentang pengaruh makanan dan minuman terhadap autisme pada tahun 2009 menunjukkan bahwa diet terhadap makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein berpengaruh besar terhadap autisme.
Penelitian Dr. Sri mengambil sampel 160 anak autis dari enam empat terapi di Semarang dan 120 anak autis dari lima tempat terapi di Solo. Dari hasil penelitiannya, Dr. Sri menganjurkan agar anak-anak penyandang autisme menjalankan diet ketat dengan menghindari asupan mengandung kasein yang berasal dari susu, misalnya susu sapi, susu bubuk, susu skim, susu kambing, mentega, dan keju.
Anak penyandang autis juga diminta menghindari pemberian segala macam asupan mengandung gluten yang berasal dari gandum, misalnya sereal. Kemudian dilakukan pemantauan setiap dua minggu sekali selama tiga bulan. Setelah melalui periode tiga bulan pemantauan, Dr. Sri menemukan perkembangan yang cukup baik pada anak penyandang autis, terutama perubahan perilaku ke arah positif. Gangguan perilaku interaksi sosial, antara lain rasa malu yang tidak wajar, tidak ada kontak mata, dan suka menyendiri mengalami penurunan yang signifikan.
Selain itu, gangguan komunikasi nonverbal yang lazim dialami anak penyandang autisme; seperti menggumam kata-kata yang tidak bermakna, perilaku hiperaktif dan berjalan secara tidak wajar, turut berkurang. Demikian pula gangguan emosi dan persepsi sensorik, misalnya suka menjilat dan tidak merasa sakit jika terluka.
Temuan Dr. Sri ini sesuai dengan penelitian para ahli di Amerika Serikat dan Eropa yang menemukan bahwa anak-anak penyandang autisme memiliki lubang-lubang kecil pada mukosa (lendir usus) sehingga mereka mengalami kesulitan mencerna kasein dan gluten, padahal kedua zat tersebut merupakan protein yang susah dicerna menjadi asam amino melainkan masih terdiri dari rangkaian beberapa asam amino peptida dan tidak bisa terserap tubuh karena ukurannya yang besar.
Namun karena keadaan usus lebih bisa ditembus air, peptida sanggup menyelinap melalui lubang-lubang kecil pada mukosa, lalu terserap oleh usus dan dibawa aliran darah ke otak. Di otak, peptida ini bersatu dengan sel–sel receptor opioid (opioid= memiliki sifat opium) menjadi seperti morfin. Peptida yang berasal dari gluten akan menjadi gluteomorphin, sedangkan peptida yang berasal dari kasein akan menjadi caseomorphin. Kedua jenis peptida ini efeknya seperti morfin yang mempengaruhi perilaku seseorang, persepsi dan respons terhadap lingkungannya.
Belum Tercerna Sempurna. Lubang-lubang pada mukosa (lendir usus) ini juga membuat anak penyandang autisme jadi alergi terhadap makanan. Makanan-makanan yang belum tercerna dengan sempurna akan menyelinap melewati lubang-lubang tersebut. Di luar dinding usus, terdapat sel-sel pembuat antibodi. Oleh sel-sel antibodi yang terdapat di dinding usus, makanan yang belum tercerna sempurna tadi dianggap sebagai zat asing dalam tubuh. Misalnya, anak mengonsumsi coklat dan belum tercerna sempurna, maka coklat tersebut akan dianggap 'musuh' oleh sel-sel antibodi sehingga akan terbentuk zat antibodi terhadap coklat. Akibatnya, tubuh anak penyandang autisme alergi coklat. Hal yang sama terjadi untuk bahan-bahan makanan lain.
Baca juga: Mengenali Gejala Autisme