Orang Tua Tak Perlu Cemas Berlebihan
Dibutuhkan kemampuan orang tua sekarang untuk memadukan sikap hati-hati dan waspada secara bijak. Jika tidak, salah-salah kita dicap sebagai ?paranoid? parents... read more
Kesibukan di kampung halaman menyambut para tamu untuk berhalal bihalal telah lewat. Bunda yang tidak mudik juga bukannya tidak sibuk. Membantu orang tua persiapan open house menyambut para tamu, tak kurang menguras tenaga.
Banyak yang harus disiapkan; seragam keluarga, menu spesial hari raya, menjaga prokes dan banyak hal lainnya. Itu semua menyenangkan sekaligus menegangkan. Lalu, setelah hari raya berlalu, masih ada waktu untuk jalan-jalan, membuat konten untuk media sosial. Persiapan fisik, mental dan financial rasanya beres. Semua menyenangkan, semua gembira, dan Anda berharap kegembiraan itu akan Anda rasakan sampai liburan berakhir, energi Anda pulih dan siap menghadapi dunia nyata.
Dunia nyata itu; kembali bekerja dan mengasuh anak. Energi mental Anda justru ngedrop, merasa sedih dan cemas. Anda mengalami postholiday blues, atau postvacation syndrome. Anda mengalami sindroma pascaliburan.
Sindroma pascaliburan
Bisa dialami oleh siapa saja sehabis liburan panjang yang menyenangkan. Stress dan cemas setelah mengalami masa-masa yang intens; gembira campur tegang. Gejalanya:
- Sulit tidur
- Gangguan mood
- Cemas
- Gampang marah
- Sulit fokus
- Energi lemah
Riset soal sindroma pascaliburan ini hanya sedikit, tapi para ahli sepakat penyebabnya adalah menurunnya level adrenalin - hormon stress. Pskolog klinis dari Princeton, NJ, Dr. Eileen Kennedy-Moore menyatakan, hormon stress yang tiba-tiba drop setelah peristiwa besar seperti acara pernikahan, dateline penting atau liburan, dapat berdampak pada kesehatan biologis dan psikologis kita.
Sindroma pascaliburan adalah bias kognitif, yaitu peningkatan perbedaan persepsi akibat paparan sesuatu dengan karakteristik yang serupa, tetapi kualitasnya berbeda. Otak sedang mencoba mengembalikan keteraturan kita sambil menyesuaikan antara 2 pengalaman yang berbeda. Masa liburan adalah perubahan besar pada rutinitas normal kita.
Liburan selama 10 hari atau 2 minggu seperti ‘mengganggu’ kehidupan normal kita. Kalaupun liburan kita itu biasa-biasa saja - nggak ke mana-mana atau nggak ngapa-ngapain, otak kitalah yang membuat realitas keseharian kita jadi lebay - berlebihan. Sehingga ketika kita kembali ke keseharian kita, kita merasa cemas.
Otak kita menipu kita
Dr. Melissa Weinberg, peneliti dan psikolog spesialis psikologi kesejaheraan dan kinerja, menyatakan bahwa sindroma pascaliburan itu adalah tanda bahwa fungsi psikologis kita sehat. Kita ditipu oleh otak kita, lalu kita percaya pada tipuan otak bahwa liburan itu lebih baik daripada kehidupan normal kita. Jadi sebenarnya menurut Dr. Weiberg, apakah liburan kita sangat luar biasa atau bisa saja, emosi kita akan sama pada akhirnya. Stress ketika liburan berakhir.
Lelah secara emosional
Lelah hayati. Karena Anda lelah menjaga situasi dan menjaga ketenangan selama liburan. Itu adalah sebab lain munculnya sindroma pascaliburan.
Coba bunda ingat kembali selama pulang kampung. Ketika sanak saudara berkumpul di rumah orang tua Anda, ditambah kerabat jauh, tetangga. Anda mungkin memasang wajah palsu - pura-pura bahagia. Menurut Dr. Judith Orloff, penulis Thriving as an Empath, memasang muka palsu bisa sangat melelahkan. Dr. Richard O’connor ahli pskoterapis membenarkan bahwa kita kerap mempersenjatai diri kita dengan mekanisme pertahanan terhadap stres dan situasi yang sulit. Dan itu melelahkan.
Berapa lama akan berakhir? Setiap orang tentu berbeda. Kemampuan setiap orang untuk beradaptasi kembali tentu tidak sama. Tapi biasanya akan hilang ketika Anda mulai menjalani kehidupan normal.
Apa yang Anda makan atau minum, berpengaruh pada cepat atau lambatnya sindroma ini berakhir. Minuman dan makanan tinggi gula dan alkohol berkaitan dengan depresi. Hindari dua jenis ini, konsumsilah makanan secara sehat. Olahraga juga penting untuk mengembalikan hormon bahagia Anda.
Baca juga
Dibutuhkan kemampuan orang tua sekarang untuk memadukan sikap hati-hati dan waspada secara bijak. Jika tidak, salah-salah kita dicap sebagai ?paranoid? parents... read more
Salah satu subtema dari HAN tahun 2024 ini adalah “Dare to Lead and Speak Up: Anak Pelopor dan Pelapor”. Simak dulu pembahasannya.... read more
Berdasarkan fakta dari KPPA RI tahun 2023 terdapat 10.932 kasus kekerasan seksual pada anak, 33.2% persen korban merupakan anak laki-laki berusia 6 hingga 12 tahun... read more
Self harm, sebuah perilaku menyakiti diri sendiri, termasuk penyakit kejiwaan dan membutuhkan pertolongan ahli kejiwaan.... read more