Sangat disayangkan di era informasi teknologi, peran boneka kerap tergantikan oleh
gadget. Tak lagi boneka yang dibawa kemana-mana oleh si kecil untuk menemaninya. Menurut psikolog
Georgene Troseth dari
Vanderbilt University di Tennessee, AS, meski
gadget menyuguhkan banyak permainan edukasi, anak akan belajar lebih banyak dan efisien dari interaksi nyata, seperti bermain dengan boneka.
Menurut
Cosby S Rogers dan
Janet K Sawyers penulis buku
Play in the Lives of Children, antara usia 12-18 bulan, anak mulai menggunakan objek sebagai simbol dan meniru tingkah laku, dan di usia 2 tahun, ia mulai bermain dengan boneka. Anak mulai bicara, memberi makan, dan menidurkan boneka dengan berpura-pura menjadi bunda atau ayah. Apa saja yang bisa dilakukan orang tua untuk memaksimalkan kemampuan di bawah ini sambil bermain boneka?
Laura Hutchinson, psikolog dari
Michigan School of Professional Psychology menyarankan untuk memberikan boneka yang representasi mendekati tokoh nyata, bukan boneka pintar bak robot yang bisa berjalan atau bicara. Karena justru mematikan daya imajinasi anak. Ia juga menyarankan orang tua tidak
rigid akan kerapian dan menyiapkan ruangan di rumah sebagai taman bermainnya. Biarkan imajinasi anak berkelana, seperti ‘menyulap’ sofa menjadi terowongan dan gua atau ruang makan menjadi kastil atau tempat ia menjamu teh boneka-bonekanya. Lebih baik ajak anak ke tempat-tempat baru, seperti kebun binatang atau peternakan, menurut
Jerome Singer, psikolog dari
Yale University. Dengan melihat sesuatu yang baru, ini akan memperkaya ide bermain boneka si kecil.
Dengan mengenal berbagai kemampuan seperti menyuapi, memandikan, dan memakai baju terhadap boneka, anak belajar memahami tanggung jawab. Agar tubuhnya sehat, ia harus makan pagi, siang, dan malam. Paham juga kalau ia butuh mandi 2 kali sehari memakai sabun untuk menjaga kebersihan tubuh. Begitu juga, urusan mengenakan pakaian. Si kecil belajar bahwa ia harus menutupi tubuh dan belajar mengenakan pakaiannya sendiri.
Bermain peran dengan boneka membuat si kecil merasa mampu. Sesuatu yang belum waktunya dilakukan, bisa anak coba dengan cara masuk ke dunia simulasi. Karena dunia simulasi ini diciptakan sendiri olehnya, maka ia bisa menakar kemampuannya. Kesesuaian tugas dan kemampuan ini lebih mudah dan menjamin keberhasilan buat anak. Karena berhasil, efeknya si kecil merasa kompeten, dan meningkatkan kepercayaan dirinya.
Di artikel yang ditulis oleh
Heather Vecchioni, berjudul
The Value of Playing With Baby Dolls, ia mengatakan boneka adalah teman setia yang tidak pernah menghakimi atau mengkritik. Hal ini dapat membangkitkan rasa percaya dirinya.
Role play dengan boneka kesayangan
, bisa
lho mengajarkan si kecil untuk mengendalikan emosi. Misalnya ketika si kecil selalu histeris setiap Anda berangkat bekerja. Kondisikanlah dengan si boneka yang harus pergi sekolah atau ditinggal bunda. Anda bisa mengucapkan kata-kata, “
Kenapa Arabella (nama si boneka), kok kamu menangis?” Arahkan si kecil untuk menjawab kenapa alasan Anda harus bekerja.
Fingers crossed si kecil akan menenangkan Arabella dengan memberi jawaban positif seperti yang Anda arahkan dan dia tidak akan histeris lagi saat dihadapkan dengan situasi serupa.
Kosakata dan pemahaman bahasa si kecil sangat terbantu dengan bermain, apalagi dengan bermain boneka. Psikolog
Katie Yeh, penulis artikel
Why Kids Should Play With Baby Dolls (Yes, even Boys), menjelaskan boneka yang begitu mirip dengan si kecil sangat baik sebagai media untuk menjelaskan aneka bagian tubuh manusia, jenis pakaian, kata kerja dan sifat yang sifatnya
basic, seperti duduk, berdiri, lapar atau haus. Dengan boneka, si kecil akan lebih tertarik untuk mengenal dan memahami kata-kata yang diajarkan.