Lelah menghadapi mantan yang kurang komitmen terhadap pengasuhan anak? Jangan diam saja. Foto: Pexels/ Ketut Subiyanto
Co-parenting (pengasuhan bersama setelah perceraian atau perpisahan) idealnya dilakukan dengan kerja sama yang harmonis. Namun, kenyataannya, tidak semua mantan pasangan bisa berkomunikasi dengan baik. Jika
co-parenting terasa seperti medan perang, jangan menyerah! Artikel ini membahas 5 langkah praktis untuk mengatasi masalah
co-parenting dan menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak-anak.
1. Evaluasi masalah dengan objektif
Sebelum mencari solusi, identifikasi akar masalahnya:
- Komunikasi yang buruk (sering salah paham, saling menghindar)
- Perbedaan gaya pengasuhan (disiplin, pendidikan, aktivitas)
- Emosi yang belum reda (dendam, kesal, atau persaingan)
Catatan: Buat daftar masalah spesifik dan tanyakan pada diri sendiri, "Apakah ini benar-benar demi kebaikan anak, atau karena ego pribadi?"
2. Prioritaskan kepentingan anak
Anak-anak berhak tumbuh tanpa konflik orang tua. Menurut
McKinley Irvin, fokus pada kebutuhan anak adalah kunci
co-parenting yang sukses. Contoh:
- Jangan jadikan anak sebagai messenger – Gunakan aplikasi pendukung co-parenting seperti OurFamilyWizard/ We Parent/ Talking Parent untuk berkomunikasi.
- Konsistensi aturan – Usahakan jadwal dan disiplin sama di kedua rumah.
3. Bangun komunikasi yang efektif
Komunikasi yang sehat mengurangi 70% konflik
co-parenting. Coba strategi ini:
- Gunakan metode "BIFF" (Brief, Informative, Friendly, Firm) – Singkat, faktual, sopan, tegas.
- Jadwalkan diskusi rutin – Bahas perkembangan anak, bukan masalah pribadi.
- Hindari komunikasi emosional – Jika perlu, tunggu 24 jam sebelum merespons pesan yang memicu amarah.
4. Manfaatkan bantuan profesional
Jika konflik terus berlanjut, pertimbangkan:
- Mediator keluarga – Membantu negosiasi tanpa emosi.
- Terapi co-parenting – Membangun pola komunikasi yang lebih sehat.
- Konsultasi hukum – Jika perlu revisi perjanjian hak asuh.
5. Tetap fleksibel dan sabar
Co-parenting adalah proses jangka panjang. Terkadang, Bunda/ Ayah perlu:
- Memberi kelonggaran – Misalnya, menukar jadwal pengasuhan jika ada acara penting.
- Memaafkan kesalahan kecil – Tidak ada co-parenting yang sempurna.
- Fokus pada progres, bukan kesempurnaan – Selama anak merasa aman dan dicintai, Bunda/ Ayah sudah di jalur yang benar.
Co-parenting yang tidak harmonis bukanlah akhir segalanya. Dengan evaluasi masalah, komunikasi efektif, dan bantuan profesional jika diperlukan, Bunda/ Ayah bisa menciptakan lingkungan yang stabil untuk anak. Ingat, ini bukan soal hubungan dengan mantan pasangan, melainkan kebahagiaan anak-anak.
Butuh panduan lebih lanjut? Konsultasikan dengan ahli hukum keluarga, psikolog keluarga atau terapis
co-parenting untuk solusi yang lebih personal.
Baca juga:
Jangan Remehkan Anak Kecanduan Gawai, Apalagi Sampai Berperilaku Agresif
Bukan dengan Omelan, Begini Cara Disiplinkan Anak Tween!
Ini Alasan Tidur Siang Tidak Bisa Gantikan Tidur Malam, Bund!