Bruksisme pada anak memiliki prevalensi yang lebih besar di Indonesia. Foto: Freepik
Bruxism atau bruksisme merupakan kebiasaan yang dilakukan secara tidak sadar, dengan menggemeretakkan gigi atas dan bawah secara berlebihan. Kebiasaan ini bisa terjadi pada anak-anak yang dipicu oleh beberapa sebab.
Di Indonesia, bruksisme pada anak memiliki prevalensi yang lebih besar dari kasus dewasa, yakni 14-18% persen, dan pada golongan dewasa sekitar 8 persen, sisanya sebanyak 3 persen pada golongan lansia.
Pada anak dan individu dengan kebutuhan khusus, prevalensi terjadinya bruksisme cenderung lebih besar, mencapai 44 persen.
"Namun Seseorang dapat dikatakan memiliki kebiasaan bruksisme jika kebiasaan tersebut berlangsung lebih dari 4 kali per jam," ujar drg. Alana Aluditasari, Sp. K. G. A., Dokter Gigi Spesialis Kedokteran Gigi Anak dari Rumah Sakit Pondok Indah – Puri Indah, Jakarta.
Ada Dua Kategori Bruksisme pada Anak
Secara medis, bruksisme dibagi menjadi dua kategori:
• Awake bruxism atau kebiasaan bruksisme ketika anak bangun
• Sleep bruxism atau kebiasaan bruksisme ketika anak sedang tidur, yang lebih sering terjadi
Faktor Fisik, Psikis atau Keturunan?
Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya bruksisme, tetapi faktor psikologis merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam terjadinya bruksisme. Faktor psikologis terjadinya bruksisme berhubungan dengan adanya stres fisik dan emosional, seperti tingkat kecemasan (anxiety) yang berlebihan pada si kecil, serta kualitas tidurnya yang kurang baik. Anak dengan kondisi keluarga yang tidak baik, misalnya sering mendengar keributan orang tua atau adanya masalah di sekolah, sering memiliki kebiasaan bruksisme terutama pada malam hari atau sleep bruxism.
Faktor lain yang dapat menimbulkan kebiasaan bruksisme yaitu faktor lokal, sistemik, dan genetik.
• Faktor lokal meliputi adanya kontak yang tidak baik antara gigi atas dan gigi bawah. Kebiasaan buruk yang berlangsung lama seperti menggigit pensil dan menggigit kuku juga dapat meningkatkan risiko munculnya kebiasaan bruksisme.
• Faktor sistemik meliputi adanya tonsil yang membesar sehingga menimbulkan gangguan pada sistem pernapasan atas, refluks lambung, serta dampak dari terapi pengobatan psikotropik. Anak dengan kebutuhan khusus seperti autis, cerebral palsy, retardasi mental, dan anak hiperaktif juga sering memiliki kebiasaan bruksisme.
• Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa adanya peran genetik pada kebiasaan bruksisme. Pada beberapa kasus, anak dengan kebiasaan bruksisme memiliki anggota keluarga yang juga memiliki kebiasaan sama.
Bahayanya?
Bruksisme dapat menyebabkan gigi aus, sakit pada otot pengunyahan saat mengunyah, mulut sulit membuka lebar, gangguan sendi rahang, sakit kepala, sakit pada telinga, serta sakit pada leher.
Perlu Ke Dokter?
Beberapa penelitian menunjukkan, kebiasaan bruksisme akan berkurang anak menginjak usia 9 hingga sekitar 10 tahun. Jika pada usia ini kebiasaan bruksisme telah menghilang, maka tidak berlanjut hingga dewasa.
Namun sebaiknya orang tua dengan anak yang memiliki kebiasaan bruksisme, terutama jika gigi anak telah berganti menjadi gigi permanen, tetap rutin memeriksakan anak ke dokter gigi sehingga dapat diobservasi oleh dokter gigi.
Observasi, diagnosis, dan evaluasi klinis pada bruksisme adalah rangkaian pemeriksaan yang kompleks. Dokter gigi akan memeriksa anak, menanyakan riwayat kebiasaan bruksisme anak, menganalisis riwayat medis anak, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan dengan alat intraoral (ronsen bagian dalam mulut). Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dilakukan evaluasi aktivitas otot dengan menggunakan alat untuk mengetahui penyebab bruksisme sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat.
Setelah diketahui penyebabnya, dokter gigi akan membuatkan alat lepasan yang dapat digunakan anak untuk menahan gemeretak gigi saat tidur, berupa
occlusal splint atau
mouthguard. Pemberian obat pelemas otot juga dapat diberikan, tetapi harus sesuai dengan hasil pemeriksaan dan harus atas resep dokter.
Wah, ternyata menghadapi bruksisme bisa dilakukan sejak anak masih balita, ya
Bun.
Penulis : Laili Damayanti
Baca Juga:
Cara Hadapi Tantrum pada Anak PTSD
Ajari Anak Kata "Maaf" itu Bertahap Ya Bun!
Humor, Elemen Penting Dalam Perkembangan Anak