Awas, Jangan Lakukan 6 Kesalahan Berikut Habis Melahirkan

 

Fotosearch

Jatuh cinta setengah mati kepada bayi baru, disertai eforia menyandang predikat “ibu”,  kerap membuat seorang bunda baru siap pasang badan menjadi wonder woman;  kuat, tangguh dan rela berkorban demi bayinya,  Tapi, apa musti demikian sehingga mengorbankan kesehatan jiwa-raga,  mengesampingkan kebahagiaan pribadi, dan menguras tabungan hingga tak bersisa?

Inilah 6 kesalahan umum yang kerap dialami bunda dan ayah baru, yang penting dikoreksi agar tak merugikan keluarga kecil bahagia Anda!

1. Membiarkan Pola Tidur Kacau
Anda beranggapan bayi baru lahir memerlukan perhatian khusus agar kesehatannya terjaga dan kebutuhannya selalu terpenuhi.  Untuk itu, Anda bersedia stand by, tak hanya ketika bayi minta ASI 1-2 jam sekali, namun juga saat bayi terjaga di malam hari untuk ganti popok, main atau sakit. Sayangnya, ketika bayi tidur, Anda kerap tidak ikut tidur, melainkan mengerjakan hal-hal lain seperti beres-beres rumah, menerima tamu, atau mengunggah foto-foto bayi di  smartphone. Akibatnya, lama-lama   Anda menumpuk kekurangan jam tidur  hingga rata-rata 2 jam per hari,  yang berlangsung terus sampai bayi berusia 3-5 bulan. Padahal, pada masa nifas, tidur dan istirahat cukup atau 7 hingga 9 jam sehari, sangat penting agar ibu cepat pulih dan sehat kembali. Terutama jika ibu  memiliki riwayat persalinan dengan komplikasi seperti persalinan macet,  bersalin sesar, maupun mengalami sobekan perineum yang mendapat jahitan.

Akibatnya…
Menurut April Hirschberg, MD, dokter Spesialis Kejiwaan dari Massachusetts General Hospital, AS, kurangnya waktu tidur berhari-hari dapat menyebabkan kesehatan ibu terganggu, mulai dari mengalami sakit kepala, tekanan darah menurun, daya tahan tubuh menurun, mudah kena batuk-pilek dan diare, konsentrasi dan kesigapan menurun,  mengalami rasa lelah berkepanjangan, dan meningkatkan risiko PPD.

Seharusnya...
Jangan mengesampingkan pola tidur pascamelahirkan dan jadikan hal itu prioritas Anda! Menurut Dr. William C. Dement, dokter Spesialis Kejiwaan dan Masalah Tidur dari Stanford Center for Sleep Sciences and Medicine, AS, bayi baru lahir rata-rata memiliki pola tidur 16-20 jam sehari, jadi sebenarnya Anda bisa “mencuri” jam tidur dengan ikut tidur ketika bayi tidur.  Jika tidak,  pada intinya tetap upayakan cukup istirahat, sempatkan tidur siang 45 menit hingga 2 jam, dan tidur panjang di akhir pekan. Jika Anda merasa tidur Anda sering terputus-putus akibat menyusui, cobalah membuat stok ASI perah yang diberikan oleh suami atau ART kepada bayi, agar Anda bisa tidur tenang.  

2. Semua Dibeli, Padahal Tak Semua Penting
Saat memiliki bayi pertama kali, banyak orangtua merasa harus membeli semua  kebutuhan bayi. Tanpa pengalaman dan referensi belanja kebutuhan bayi, daftar belanja pun jadi memanjang karena prioritas yang tak jelas.

Risikonya…
Overspending, padahal kebutuhan seorang anak bukan hanya penting dipenuhi saat ia bayi, namun berkesinambungan ketika ia bertumbuh kembang menjadi balita, lalu preschooler, dan seterusnya. – dengan kata lain, tak ada habisnya!  Bukan hanya kebutuhan sehari-hari atau barang habis pakai yang harus terpenuhi, biaya pemeliharaan kesehatan serta investasi pendidikan juga perlu direncanakan. Jika Anda terbiasa kendor dalam mengontrol belanja barang bayi, dikhawatirkan hal ini akan  berkembang menjadi kebiasaan yang sulit diubah.  Anggaran rumah tangga yang tak terkontrol, dapat pula memicu masalah dengan pasangan.

Seharusnya...
Batasi pengeluaran, buat skala prioritas belanja barang keperluan bayi,  dan jangan segan meminta keluarga untuk melungsurkan barang–barang bayi layak pakai (serta aman!) yang berusia pendek  seperti new born car seat, boks bayi, meja ganti popok, pompa ASI,  dan sebagainya.  Kerry K. Taylor, blogger keuangan dari Kanada,  menulis “Sebaiknya 80% baju bayi adalah baju bekas layak pakai untuk sehari-hari. Dan, cukup 20% baju saja yang merupakan baju baru untuk bepergian”. Setelah mengumpulkan perlengkapan dan baju bekas, buat daftar belanja sesuai referensi ibu-ibu lain.

3. Mendengarkan Semua Nasihat Hingga Membebani Diri

Usai melahirkan, bunda baru kerap mendapat nasihat dari banyak orang, mulai dari orangtua, mertua, kakak perempuan, sepupu, kakak ipar, tante, teman-teman dan seterusnya. Kendati tak diminta, mereka akan tetap memberi berbagai nasihat. Merasa tak berpengalaman,  ditmaba rasa tak enak hati kepada sang pemebryi nasehat, semua nasihat itu lantas Anda telan mentah-mentah, Anda laksanakan sehingga menjadi beban.
 
Risikonya…
Mendengarkan berbagai nasehat dan pendapat orang lain tanpa mencerna dan mengritisinya,  bisa mendatangkan kebingungan, apalagi jika kemudian hari muncul rasa tak mampu menjalankannya. Pada beberapa ibu, beban di hati itu  dapat berkembang menjadi  depresi. Lebih-lebih jika nasihat tersebut bertentangan dengan prinsip dan kesanggupan.

Seharusnya…
Boleh mendengarkan nasihat orang lain, namun utamakan pendapat dan intink keibuan Anda sendiri. Menurut Alvin Rosenfeld, MD., dokter anak juga penulis buku Hyper-Parenting, jika bunda mengikuti nasihat semua orang, artinya ia menerima terlalu banyak aturan hidup yang bisa saja tak sesuai dengan prinsipnya sendiri. Yang terbaik adalah, dengarkan nasehat, tapi cerna dan tapis mana yang sesuai dengan  keyakinan dan intuisi Anda dan pasangan dalam mengasuh dan merawat anak. Jika berkaitan dengan kesehatan dan kondisi medis anak, dokter adalah sumber terbaik mendapatkan nasehat.    
 
4. Terlalu Khawatir, Paranoid dan Gelisah

Sudah menjadi naluri alami, menjadi orangtua baru selalu membuat ayah dan bunda khawatir dan gelisah. Melihat bayi yang kecil dan rapuh serta banyaknya fakta di luar jika bayi dapat memiliki gangguan kesehatan serius, menjadi pembenaran bagi para orangtua baru untuk selalu khawatir berlebihan.

Risikonya…
Penyebab terbanyak kasus PPD ternyata adalah kekhawatiran berlebihan yang dialami bunda baru. Itu karena kekhawatran dapat menggiring Anda untuk merasa cemas, takut hingga panik, yang berdampak pada gangguan tidur,  gangguan makan-minum dan sebagainya, yang membuat baby blues lebih buruk.   Padahal logikanya, Jika bunda mengalami PPD, bukankah bayi justeru menjadi lebih terbengkalai?
 
Seharusnya...
Terimalah fakta bahwa tak semua penyakit dan musibah bisa dicegah oleh orangtua. Mengasuh anak seharusnya menjadi pengalaman positif bagi orangtua baru, bukannya mendatangkan kekhawatiran dan ketakutan. Jika orangtua bisa menerima kehadiran bayi dengan lebih santai, tenang, disertai rasa berserah diri kepada Tuhan Sang Pencipta mahklukNYA,  bayi juga dapat berkembang dengan baik dan sehat.  
Selain itu, bayi menangis tak selalu berarti sakit atau tak bahagia. “Bayi menangis juga bukan karena pengasuhan Anda salah. Jika bayi menangis lantas ketika Anda meresponnya ia berhenti menangis, artinya Anda tak perlu khawatir,” ujar Michelle Haley, M.D., dokter anak dari Children's Mercy Hospitals & Clinics, AS.
    
5. Cuek Pada Suami

Setelah memiliki bayi, bunda sibuk merawat bayi dari pagi hingga malam hari, sehingga begitu kelelahan sehingga tak sempat memerhatikan suami, misalnya melakukan hal-hal yang dulu kerap Anda lakukan untuknya seperti   berdandan, minum the berdua atau mengobrol.   Selain itu, saat ini bagi Anda rasanya bayi adalah prioritas utama hidup Anda, sehingga –tanpa membicarakan hal ini dengan suami-  Anda merasa suami tidak perlu menuntut macam-macam dan musti menerima kenyataan ini,

Risikonya…
Keadaan ini jika dibiarkan berlarut-larut dapat memicu masalah pernikahan dan hubungan suami isteri.   Pada suatu titik, perasaan bersalah karena telah mengabaikan kebutuhan pasangan, bisa juga  menimbulkan rasa inkompeten sebagai isteri  di dalam diri bunda, yang memicu rasa rendah diri. Jangan sampai ini terjadi!

Seharusnya...
Jangan terlalu merasa bersalah dengan ketidakmampuan diri mengatasi semua. “Bukan hal yang aneh, jika pascamemiliki bayi, ibu mengalami sedikit masalah pernikahan sekaligus stres menjadi orangtua baru. Saat ini memang masa transisi dari pasangan tanpa anak menjadi orangtua baru,” ujar John Friel, PhD. Profesor Psikiatri Klinis di School of Medicine, University of Nevada, AS.

Kendati demikian, menurut John, tetaplah fokus pada pernikahan dan anak. Cobalah mencari pengasuh atau orang lain yang dapat membantu Anda mengasuh bayi saat melakukan “our time” dengan suami. Dan, seringlah berdiskusi dengan pasangan tentang bayi maupun perubahan hidup keluarga, sehingga suami merasa ini isu bersama yang harus dihadapi bersama pula. Jadikan komunikasi kebiasaan positif!

5. Tak Punya ‘Me Time’
Kesibukan bunda dalam mengurus bayi kerap membuatnya menganggap kebutuhan pribadi tak lagi penting. Bahkan tak sempat memiliki ‘me time’.

Risikonya...
Me time sebetulnya sangat berperan mengembalikan kesejahteraan jiwa ibu. Jika tak terpenuhi, ibu baru akan lebih mudah mengalami stres terutama menghadapi tangisan bayi.

Seharusnya...
“Mengupayakan me time kendati telah menjadi seorang ibu adalah sebuah keharusan. Anda juga perlu merawat kesehatan jiwa, karena ibu yang bahagia akan menjadi orangtua yang lebih sabar merawat anak,” ujar Elizabeth Silk, psikolog dari New York City, Amerika Serikat.
Me time bisa berupa kegiatan 15 hingga 30 menit sehari yang memberikan kenikmatan pribadi bagi ibu. Misalnya, menonton film di tempat tidur, membaca novel, menikmati secangkir teh kesukaan, dan sebagainya.

(LAD/ERN)

 


Artikel Rekomendasi

Load more