Hubungan Anda dengan pasangan, keluarga besar, keluarga pasangan, dan juga anak, semua saling memengaruhi suasana serta situasi hati satu sama lain. Apalagi ketika kita hidup dengan nilai-nilai serta budaya ketimuran yang kental.
Sering kali Anda diingatkan akan kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua. Saat telah menikah, tugas Anda ditambah lagi dengan kewajiban berbakti kepada mertua.
Wah! Mampu tidak ya, kita menjalankannya?
Dalam
masterclass Indonesian Women’s Forum 2023 silam yang mengangkat topik
Bagaimana Orang Tua dan Anak Bisa Saling Mengerti,
Certified Family Constellator yang juga penulis buku
Family Constellation,
Meilinda Sutanto,
menjelaskan tentang urutan mencintai sesuai prinsip
family constellation yang akan mengembalikan fungsi dan peran Anda dalam hubungan bersama pasangan. Bagusnya lagi, cara ini juga bisa memutus trauma lintas generasi yang mungkin membayangi Anda atau pasangan selama ini sehingga kerap terjebak dalam hubungan yang
toxic.
Orang Tua Memberi, Anak Menerima
Menurut Meilinda, idealnya hubungan orang tua dan anak itu seperti air terjun yang mengalir dan tidak boleh melawan arah. Soal memberi cinta, juga jangan melawan arah. Kenapa?
"Karena asumsinya, orang tua sudah menerima cinta dari kakek dan nenek, sehingga tangkinya sudah penuh. Setelah itu, barulah ia bisa memberikan cinta ke anaknya. Sedangkan anak, perlu menabung cinta kasih dulu untuk keluarga dan anaknya di kemudian hari," jelas Meilinda soal alasan urutan mencintai tersebut.
Lantas apakah seorang anak harus berbakti? Meilinda menerangkan bahwa kewajiban mencintai dari yang lebih tua ke yang lebih muda ini tidak lantas menghilangkan kewajiban untuk berbakti kepada orang tua.
"Berbakti itu adalah berterima kasih namun bukan dengan ekspektasi. Ini yang sering bikin penyakit dan makan hati," Meilinda menegaskan.
Antar Pasangan, Menerima dan Memberi Harus Seimbang
"Jangan jadikan anak sebagai penengah orang tua, apalagi meminta anak memilih untuk memihak salah satu orang tuanya. Tugas anak bukan untuk membela salah satu orang tuanya, tapi menyayangi kedua orang tuanya dengan sama banyaknya," ungkap Meilinda, tentang permasalahan para orang tua yang suka mengandalkan anak-anaknya ketika berkonflik dengan pasangan.
Jika Anda di posisi sebagai anak yang menjadi juru damai orang tua, Anda juga tidak menjalankan
role sebagai anak secara tepat.
"Kita sering salah kaprah dengan anggapan menjadi anak baik. Pada jangka panjangnya, kita justru tidak memberdayakan orang tua untuk mahir menangani dan belajar dari konflik. Lama-lama anak menjadi capek dan orang tua tidak belajar menanggulangi konflik," Meilinda meluruskan salah kaprah yang kerap terjadi di masyarakat.
Meilinda pun menjelaskan mengapa memberi dan menerima cinta dalam keluarga itu harus seimbang, terutama antar pasangan. Menurutnya, ketika kita mendidik anak untuk pilih kasih, anak akan memotong cinta salah satunya. Dampaknya, kelak saat ia berpasangan bisa menjadi
bucin atau malah merasa selalu defisit cinta. Padahal pasangannya bukan orang tuanya, namun ia akan menuntut pasangannya memberi cinta yang tidak didapatkan dari orang tuanya.
"Berapa pun kasih sayang yang diberikan, tidak akan pernah cukup, karena Anda meminta kepada orang yang salah," ujar Meilinda.
Hak Keanggotaan Setiap Keluarga Itu Setara
Percaya atau tidak, pola kejadian buruk dalam keluarga dapat terulang jika keluarga tersebut memiliki trauma lintas generasi yang tidak selesai. Salah satu yang kerap terjadi dalam budaya kita adalah memperlakukan anggota keluarga secara tidak setara. Bahkan tanpa kita sadari, kita sedang mengucilkan anggota keluarga tersebut.
Misalnya, anggota keluarga yang difabel, orang dengan status pekerjaan atau karier yang berbeda, beragama berbeda, berstatus berbeda, pernah terjerat narkoba, pernah terpidana, pernah hamil di luar nikah, bercerai, dan seterusnya.
"Bahayanya, siapa yang ditolak, akan terulang lagi di generasi berikutnya. Ada paman yang mempermalukan keluarga, nanti di bawahnya akan ada bibi yang mempermalukan keluarga," jelas Meilinda, sambil menerangkan kembali bahwa yang terjadi sebenarnya saat kita mengucilkan seseorang, keluarga justru melanjutkan trauma lintas generasi dan mengulang pola yang sama.
"Tujuan kita dalam relasi adalah meraih kemahiran dalam mengelola EQ, menaikkan rasa empati dan mematahkan pola yang salah. Bukan hanya Anda yang sembuh tapi orang tua dan anak kita tidak perlu mengulangnya," pesan Meilinda.
Tiap Anggota Keluarga Memikul Takdir Masing-masing
Sangatlah penting bagi setiap anggota keluarga untuk bisa memikul takdir masing-masing. Menurut Meilinda, orang tua yang suka memendam perasaan sendiri emosinya tidak lantas hilang terlupakan namun menurun ke anak-anaknya. Ini bisa menjadi penyebab anak-anak depresi di sekolah atau di kemudian hari. Karena itu, sebagai individu dan orang tua, Anda perlu menyelesaikan emosi yang belum dapat diekspresikan.
Meilinda mencontohkan, pada suatu hari dirinya pernah bertemu dengan seorang anak yang gemar melukai dirinya sendiri tanpa sebab. Anak tersebut bukanlah anak korban
bullying, tidak dituntut dengan ekspektasi tinggi, tidak mendapat nilai jelek di sekolah, dan tidak mengalami masalah-masalah serius pemicu perilaku menyakiti diri sendiri lainnya.
Setelah digali, orang tua anak tersebut pernah kehilangan ibunya saat masih kecil dan tidak boleh menangis karena anak laki-laki. Apa yang dirasakan sang ayah ini menjadi trauma lintas generasi yang membuat si anak merasakan kesedihan yang tidak bisa diungkapkan. Setelah melalui beberapa kali konseling dan mengulang kembali kedukaannya, anak yang tadinya suka menyakiti diri sendiri tersebut berhenti.
Orders of Love
Prinsip kelima dari
family constellation adalah
orders of love atau prioritas dalam memberikan cinta. Prinsipnya, siapa yang datang dulu dalam keluarga akan diprioritaskan mendapatkan cinta.
Misal, orang tua datang lebih dulu daripada anak, maka prioritaskanlah pasangan daripada anak. "Suami-istri harus saling memprioritaskan dulu nomor satu dan dua, baru kemudian ketiga adalah anak pertama, keempat anak kedua, dan seterusnya," ujar Meilinda, meluruskan salah kaprah di masyarakat bahwa mecintai anak di atas segalanya itu adalah hal terbaik untuk anak.
Ketika Anda memprioritaskan anak daripada pasangan, anak akan mengalami relasi kurang baik dengan orang tua yang dikucilkan. Dan orang tua yang merasa dikucilkan akan merasa iri pada anak, lalu menjadi masalah yang tidak tersuarakan.
Apa bahayanya? Anak sulung yang kerap salah mendapat prioritas cinta akan (tanpa sadar) menjadi 'orang tua ketiga' bagi saudaranya. Dampaknya, ia akan merasa dituntut menjadi
role model, dituntut mengurusi saudara, harus menjadi yang terbaik, dan seterusnya. Padahal, dinamika bersaudara itu seharusnya setara.
"Nggak heran kalau ada beberapa kasus, kakak pertama terlambat menikah karena merasa tidak punya waktu untuk pacaran. Tanpa sadar, dia mengorbankan kehidupan pribadi demi saudaranya. Ini adalah dampak negatif ketika mengambil
role yang seharusnya adalah
role orang tuanya," jelas Meilinda.
Karena itu, penting bagi anggota keluarga untuk melihat bagaimana cinta itu punya skala prioritas yang berurutan.
"Ini akan menjadi bekal anak saat mencari pasangan yang bisa memprioritaskan dirinya dan saling memprioritaskan, dan begitu pula ke anaknya kelak," Meilinda menutup perbincangan.
Baca juga:
Intuisi Ibu: Natural Atau Bisa Diasah?
Keluarga Jadi Harmonis dengan Prinsip Family Constellation
10 Cara Mudah Menciptakan Keluarga Bahagia