Foto: Dok. Shutterstock.
Sejak mulai disorotinya kasus Gangguan Ginjal Akut pada bulan Agustus 2022, pemerintah sudah menerapkan sistem surveilans kesehatan sekitar akhir Agustus lalu, yang ditindaklanjuti dengan pemeriksaan laboratorium juga pemeriksaan intoksikasi kemungkinan zat toksik.
Hal ini disebabkan terjadinya lonjakan kasus GGA melonjak dari yang biasanya hanya sekitar 1 hingga 2 kasus per bulan, ini terjadi hingga lebih dari 35 kasus. Kasus ini kemudian dikenal sebagai Gangguan Ginjal Akut Progresif, karena perburukan yang terjadi berlangsung cukup cepat dibanding gangguan ginjal pada umumya. Mengantisipasi hal ini, pemerintah mengupayakan berbagai hal termasuk mendatangkan antidotum dari berbagai negara.
Jakarta Memiliki Angka Kasus Tertinggi
Hingga per 26 Oktober 2022 ini tercatat 269 kasus Gangguan Ginjal Akut sudah masuk ke data Kementrian Kesehatan RI. Angka ini didapat dari hasil pelaporan 27 provinsi di Indonesia.
Dari total jumlah kasus tersebut, sekitar 58% atau sebanyak 157 pasien meninggal dan sebagian besar adalah anak-anak di bawah 5 tahun. Sementara 39 pasien sudah dinyatakan sembuh dan
Laporan kasus ini juga menyoroti beberapa daerah dengan jumlah penderita GGAP yang cukup tinggi. “DKI Jakarta memiliki angka tertinggi yakni terjadi 57 kasus yang dilaporkan,” ujar
dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, Juru Bicara Kemenkes RI dalam Keterangan Pers Kementerian Kesehatan RI, 27 Oktober 2022 kemarin.
Penyebab Selain Cemaran Sudah Disingkirkan
Terkait kesimpang siuran anggapan di masyarakat soal penyebab pasti GGAP, dokter Syahril menegaskan bahwa pemerintah sudah melakukan berbagai upaya penyelidikan. Termasuk bekerjasama antara Ikatan Dokter Anak Indonesia juga berbagai pihak untuk menghimpun data dari berbagai provinsi sekaligus melakukan berbagai uji laboratorium kepada pasien GGAP.
“Pada saat penelitian bersama IDAI, dari beberapa tahapan sudah menyingkirkan penyebab GGAP yang dicurigai karena infeksi, termassuk Covid-19 maupun long Covid-19. Baik tes laboratorium untuk menemukan kaitan Covid-19 maupun menemukan jejak infeksi Covid-19 (kemungkinan long Covid-19) tidak didapatkan virus maupun riwayat terkena Covid-19 pada pasien GGAP,” tegas Syahril menjelaskan kembali hasil penelitian dengan pendekatan patologis .
Pada saat WHO (world health organization) merilis 75 kasus GGA di Gambia, Afrika (sekitar 5 Oktober lalu), Kementrian Kesehatan mengubah arah penelitian mencari adanya bahan cemaran obat. “Setelah dilakukan tes urine dan darah, juga memastikan dengan biopsi dan ternyata memang ada kerusakan akibat kristal oksalat yang merupakan hasil dari cemaran etilen glikol dan dietilen glikol. Kristal ini cukup tajam dan dapat merusak ginjal. Dan pada tanggal 18 Oktober Kemenkes mengeluarkan Surat Edaran untuk menghentikan penggunaan obat sirup kepada seluruh Dinas Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Organisasi Profesi Kesehatan,” papar dokter Syahril.
Upayakan Antidotum dari Berbagai Negara
Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk menangani GGAP, termasuk mendatangkan 30 vial antidotum
Fomepizole dari Singapura yang akan datang secara bertahap untuk digunakan pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Sebanyak 20 vial sudah tiba sejak 10 hingga 18 Oktober lalu dan sudah digunakan. Sisanya, 10 vial (dari Singapura) dijadwalkan tiba hari ini (27/10) dan akan didistribusikan ke rumah sakit rujukan pemerintah yang merawat pasien GGAP.
Selain dari negara Singapura, juga datang 16 vial antidotum
Fomepizole dari Australia pada 22 Oktober lalu dan telah didistribusikan ke sejumlah rumah sakit diantaranya RS M. Djamil Padang, RS Soetomo Surabaya, RS Adam Malik medan, dan RS Zainul Abidin Aceh.
Bukan hanya itu, dari hasil diplomasi bilateral dengan Kanada saat Pertemuan Menteri Kesehatan Negara G20, Indonesia juga mendapatkan donasi dari Takeda (Jepang) berupa 200 vial antidotum
Fomepizole yang akan tiba dalam minggu depan.
Artikel ini juga tayang di Femina.co.id