Respons defensif anak dapat disalahartikan sebagai sifat pendendam akibat pengalaman negatif masa lalu. Foto: Freepik
Pertanyaan mengenai kecenderungan anak menyimpan rasa tidak nyaman atau kemarahan kerap muncul dalam diskusi orang tua dan pengamat pendidikan. Riset dari
Boston University, yang dipimpin oleh
Peter Blake,
Associate Professor bidang psikologi dan ilmu otak, memberikan penjelasan awal mengenai pola ini. Dalam salah satu temuannya, Blake menegaskan bahwa respons anak terhadap ketidakadilan berkembang lebih cepat dibanding respons terhadap kebaikan.
“Anak tidak sedang berupaya melukai orang lain. Mereka mengirimkan sinyal bahwa ‘saya bukan sasaran empuk,’” ujar Blake ketika memaparkan hasil riset tersebut. Studi ini melibatkan 330 anak usia 4–8 tahun melalui eksperimen interaktif, dan hasilnya konsisten: anak dengan mudah membalas perilaku negatif secara langsung, tetapi tidak otomatis membalas kebaikan.
Temuan ini mengindikasikan bahwa reaksi yang tampak sebagai ‘dendam’ sebenarnya lebih mirip mekanisme pertahanan diri. Blake menambahkan, “Perilaku negatif memicu respons lebih kuat dan lebih cepat, karena anak merasa perlu melindungi diri dari ancaman berulang.”
Namun, apakah pengalaman masa lalu dapat memperdalam respons defensif tersebut? Para psikolog perkembangan menyatakan bahwa pengalaman buruk—seperti rasa malu, perlakuan tidak adil, atau perundungan ringan—dapat meninggalkan jejak emosional. Anak yang sering mengalami situasi tidak aman dapat menjadi lebih sensitif terhadap sinyal ancaman.
Jika pengalaman negatif tidak diproses dengan benar, anak dapat menunjukkan pola respons yang lebih waspada, cepat tersinggung, atau tampak menyimpan kemarahan. Ini bukan dendam dalam konsep orang dewasa, melainkan sistem alarm emosional yang terlalu aktif.
Pendekatan Emosional dan Dukungan Lingkungan
Ketika pengalaman negatif dibiarkan menumpuk, anak berpotensi mengembangkan pola pikir defensif. Organisasi
Anti-Bullying Alliance dari Inggris, menekankan pentingnya menghadirkan rasa aman pada anak sejak awal. “Peran orang tua adalah mendengarkan, menenangkan, dan meyakinkan bahwa situasi dapat membaik ketika langkah tepat diambil,” tulis panduan resmi organisasi tersebut.
Poin-poin pendukung bagi anak yang pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan antara lain:
- Menjadi pendengar aktif tanpa menghakimi.
- Menegaskan bahwa kejadian buruk bukan kesalahan anak.
- Menghindari dorongan untuk membalas, karena balasan agresif justru meningkatkan risiko anak dianggap sebagai sumber masalah.
- Membantu anak memahami pilihan tindakan sehat: berjalan menjauh, mencari dukungan, atau melapor pada otoritas sekolah.
- Membangun kembali kepercayaan diri anak melalui aktivitas positif dan lingkungan sosial yang suportif.
Langkah-langkah ini menjadi kunci agar pengalaman masa lalu tidak berkembang menjadi pola respons emosional berkepanjangan.
Menariknya, riset Blake juga menunjukkan bahwa perilaku positif dapat diajarkan dengan cepat. Dalam eksperimen lanjutan, anak yang mendengarkan cerita tentang kebaikan dan timbal-balik positif menunjukkan kecenderungan lebih tinggi untuk membalas kebaikan. “Cerita yang tepat dapat memicu pemahaman dan empati, bahkan pada anak usia sangat muda,” ungkap Blake.
Ingat Bun, Respons Defensif Anak Bukan Berarti Pendendam
Anak tidak serta-merta menjadi pendendam; yang muncul adalah respons perlindungan diri yang berkembang lebih cepat dibanding empati timbal balik. Namun pengalaman negatif yang tidak dibantu untuk diproses dapat membuat anak tampak ‘menyimpan luka’. Pendekatan penuh empati, lingkungan aman, serta pembiasaan cerita positif dapat membantu anak membentuk respons yang lebih sehat dan adaptif.
Jika perilaku defensif atau kemarahan berkepanjangan mulai tampak mengganggu keseharian anak, pertimbangkan berkonsultasi dengan psikolog perkembangan anak untuk memastikan kebutuhan emosionalnya tertangani dengan tepat dan sedini mungkin.
Penulis: Laili
Baca juga:
6 Cara Bantu Anak Mengatasi Marahnya
Kemarahan Anda, Merusak Otak Anak
Cara Positif Menyalurkan Amarah Anak