Hingga kini kasus meningitis yang menyerang bayi dan balita di seluruh dunia masih relatif tinggi. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) sekitar 1,8 juta bayi dan balita meninggal setiap tahun akibat meningitis.
Data WHO tahun 2005, menunjukkan di kawasan Asia-Pasifik tercatat 860.000 bayi dan balita meninggal akibat penyakit ini setiap tahun, dan di kawasan Asia Tenggara sebanyak 700.000. Sementara dari survei
Meningitis Research Foundation memperkirakan di Inggris dan Irlandia sekitar 3.500 bayi dan balita menjadi korban meningitis setiap tahunnya.
Penyakit infeksi yang mengakibatkan peradangan pada selaput pelindung
otak dan sumsum tulang belakang ini bisa berakibat fatal bila menyerang bayi. Berdasarkan jenis kuman penyebabnya, digolongkan menjadi tiga, yaitu
meningitis kriptokokus-disebabkan oleh sejenis jamur, yaitu
Cryptococcus neoformans,
meningitis bakteri- disebabkan oleh bakteri, antara lain N
eisseria meningitidis (
Meningococcus),
Streptococcus pneumoniae (P
neumococcus),
Haemophilus influenzae type B (HiB ), dan
Listeria monocytogenes, dan
meningitis virus- disebabkan oleh virus, terutama Enterovirus dan virus herpes.
Meningitis yang disebabkan bakteri, khususnya
Pneumococcus, paling banyak menyerang bayi di bawah umur 2 tahun, dan berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis akibat infeksi jenis kuman penyebab lainnya. Sebab, kerusakan yang ditimbulkan pada otak bayi lebih parah. Dampaknya antara lain retardasi mental,
gangguan pendengaran, kelumpuhan, dan kebutaan. Pada bayi, gejala penyakit ini biasanya berupa
demam,
kejang,
rewel,
muntah, kesulitan minum ASI atau tidak mau makan, dan ubun-ubunnya menonjol. Sejauh ini, upaya untuk mengatasi meningitis pada bayi dan balita, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, adalah dengan program
imunisasi.
Baca:
Kenali Gejala Meningitis (Radang Selaput Otak)