Anak belajar dari apa yang Anda lakukan, bukan dari yang Anda katakan. Jadi, ketangguhan yang Anda perlihatkan akan memengaruhi anak.
Resilience kerap diterjemahkan sebagai ‘tangguh’ atau ‘ketahanan’ atau punya daya lenting. Sebagai orang tua kita kerap merasa bahwa diri kita ini lumayan tangguh. Diterpa berbagai masalah kesehatan anak, polah anak yang sulit dikendalikan, namun kita pantang menyerah. Belum lagi saat kita menghadapi berbagai persoalan di tempat kerja, atau terjadi sesuatu dengan usaha kita.
Jadilah orang tua tangguh kalau ingin membesarkan anak yang tangguh. Demikian bunyi judul sebuah artikel di The New York TImes, ditulis oleh Emily F. Popek. Mengapa ketangguhan itu penting? Simak cerita ini.
Dua orang yang sama-sama berbakat bekerja di sebuah perusahaan. Perusahaan berencana merampingkan pegawainya, dan dalam 1 tahun memberhentikan dua orang pekerja ini. Yang satu terjebak dalam pemikiran bahwa dia gagal karena tidak kompeten sehingga tidak disukai bos. Yang satu lagi segera memutuskan untuk memperbaiki portfolionya dan belajar menghadapi atasan yang sulit.
Bisa ditebak, siapa yang dapat melewati situasi itu dengan lebih cepat.
Sebagai orang tua kita menginginkan anak kita tangguh secara emosional - dapat mengatasi kesulitan, mengubah kesulitan menjadi tantangan. Tapi kemampuan orang tua untuk menumbuhkan ketahanan pada anak sangat bergantung pada ketangguhan emosional kita sendiri.
“Ketangguhan orang tua berfungsi sebagai pola bagi anak untuk melihat bagaimana menghadapi tantangan, bagaimana memahami emosi mereka sendiri,” kata Dr. Dan Siegel, penulis The Yes Brain yang membahas pengembangan ketahanan anak. Gunakan setiap tantangan sebagai ‘alat’ untuk membangun daya tahan anak-anak kita.
Bagi banyak orang tua, menghadapi kemarahan dan kekacauan yang ditimbulkan oleh anak adalah tantangan - terutama ketika harapan kita tidak realistis terhadap anak. Kemarahan, ledakan dan air mata adalah bagian dari perkembangan. Tapi orang tua yang tidak mampu menghadapi kekacauan itu sebagai masalah yang harus segera dipecahkan akan menghukum anak dengan menguncinya di kamar. Dan itu bukanlah pemecahan masalah.
Respon orang tua terhadap kemarahan anak kerap kali berbeda, tapi intinya bahwa kemarahan, frustrasi dan kesedihan itu tidak dapat diterima. Tentu saja ini sikap kaku dan rapuh yang membuat orang tua dan anak merasa takut, dan memandang emosi yang terlalu besar dapat menghancurkan mereka.
Anak-anak jeli melihat hal itu, dan itu bukan landasan yang kuat untuk membentuk sikap tangguh. Untuk membangun ketangguhan diri, beberapa hal ini penting Anda lakukan:
1. Tarik napas, setiap kali ada tantangan di dalam rumah Anda. Apakah anak mengamuk, apakah ada tetangga yang marah-marah. Matikan alarm di kepala kita, tenangkan diri. Dr. Laura Markham, Psikolog Klinis di AhaParenting.com menyarankan agar kita segera menekan tombol ‘pause’ di otak kita sebelum melakukan sesuatu - meski itu teriakan anak. Orang tua dan anak harus menyetarakan detak jantung, lalu tarik napas supaya tenang dan memberi dampak ketenangan pada anak.
2. Biarkan berbagai emosi terjadi. Ketangguhan kita tergantung pada pemahaman terhadap emosi itu apakah itu sedih, marah, kecewa, itu bukan masalah yang harus diselesaikan tetapi konsekuensi alami sebagai manusia. Emosi itu tidak berlangsung selamanya. Ada awal - pertengahan - akhir. Izinkan diri kita mengekspresikan berbagai emosi, karena itu penting untuk kemanusiaan kita.
3. Cari tahu. Kita sering bertanya ‘kenapa.’ Kenapa sih ngga bisa naruh kaos kaki di keranjang? Kenapa bajunya berserakan? Carla Naumburg, pekerja sosial klinis dan penulis Ready, Set, Breathe:Practicing Mindfulness With Your Children for Fewer Meltdowns and a More Peaceful Family menyarankan, sebaiknya kita bertanya pada diri sendiri; “Kenapa reaksiku kaya gini sih?” Pahami apa yang terjadi pada diri Anda dan bertanggungjawablah terhadap diri sendiri.
4. Menetapkan batasan. Ini bisa berakibat pada situasi sangat tidak menyenangkan. Anak akan menangis sejadi-jadinya sambil mengatai Anda ibu yang jahat. Tetapi menetapkan batasan dengan lembut dan kasih sayang dapat menurunkan tekanan darah Anda. Akui perasaan anak dan hibur dia tanpa menyerah dengan tuntutannya. Ini adalah sikap tangguh Anda. Anda boleh mengatakan secara verbal, “Nggak boleh ya sayang…” Anak akan tetap menangis, tapi tidak akan mengurangi bonding Anda.
5. Periksa ucapan ‘ya’ dan ‘tidak’ Anda.Susan Newman, seorang psikolog sosial dan penulis The Book of No: 365 Ways To Say It and Mean It, mengatakan orang tua harus sangat memerhatikan saat-saat Anda paling mungkin menyerah pada ledakan anak. “Jika Anda dapat mengenali apa yang memicu Anda untuk 'ya' otomatis, inilah saatnya untuk mundur dan berkata, “Tunggu sebentar, mengapa saya melakukan ini?'” saran Dr. Newman. “Kita hidup dalam budaya pengasuhan 'ya' ini," kata Dr. Newman, "dan lebih mudah untuk mengatakan ya daripada menghadapi kehancuran anak." Tetapi orang tua dapat mempertimbangkan, "Bagaimana 'tidak' itu bisa membantu?" sebagai cara untuk mengeksplorasi alasan batasan tertentu sehingga Anda dan anak Anda dapat lebih memahaminya.
6. Ciptakan jarak. Ketika kita mengidentifikasi diri secara dekat dengan anak-anak kita, atau mengandalkan mereka sebagai barometer harga diri kita, kita membuat diri kita kecewa ketika segala sesuatunya tidak berjalan persis seperti yang kita rencanakan. “Ego kita sangat terikat dalam pengasuhan kita,” kata Julie Lythcott-Haims, penulis How to Raise an Adult. Dr. Naumburg mencatat bahwa ini sebagian diinformasikan oleh narasi budaya yang menunjukkan bahwa "Jika anak-anak tidak baik-baik saja, maka itu karena kita orang tua telah melakukan sesuatu yang salah." (IR)
Setiap orang tua ingin mengasuh anak menjadi anak yang mandiri, tangguh, penuh empati, dan percaya diri. Tidak dapat dihasilkan dalam sekejap, butuh diulang dan konsisten, dan tanpa berteriak. Mungki... read more
Berdasarkan fakta dari KPPA RI tahun 2023 terdapat 10.932 kasus kekerasan seksual pada anak, 33.2% persen korban merupakan anak laki-laki berusia 6 hingga 12 tahun... read more