Self harm, sebuah perilaku menyakiti diri sendiri, termasuk penyakit kejiwaan dan membutuhkan pertolongan ahli kejiwaan. Foto ilustrasi: Pexels
Saat marah atau kecewa, anak dapat menyakiti diri sendiri sebagai bentuk protes atau mencari perhatian orang dewasa. Lantas, apakah perilaku tersebut dapat berkembang menjadi gangguan kesehatan mental yang berbahaya? Benar, Bun! Ada fenomena menarik yang disebut dengan
self harm. Ini adalah sebuah yang masuk dalam kategori penyakit kejiwaan serta membutuhkan pertolongan ahli kejiwaan.
UNICEF menyebut, kondisi ini bisa dipengaruhi oleh beberapa sebab. Akan tetapi, lebih utama mengakar pada emosi dan stres yang dipendam anak. Ketika anak tidak bisa menyalurkannya, maka anak dapat melampiaskan berupa perilaku menyakiti diri sendiri.
Jika
self harm tidak ditangani secara cepat dan tepat, akan bisa mengancam jiwa dan psikologis anak. Bukan hanya pada diri anak, melainkan juga orang-orang di sekitarnya.
Faktor yang Dapat Memicu Anak Melakukan Self Harm
Masalah ringan bagi orang tua, belum tentu mudah bagi anak. Masih menurut UNICEF, self harm dapat dipengaruhi oleh:
- Perubahan kehidupan yang drastis, seperti perceraian, kematian, atau pindah sekolah.
- Ketakutan akan kegagalan, seperti pada ujian atau dalam kondisi sosial.
- Menjadi korban atau saksi kekerasan di rumah, sekolah, dan/atau hubungan.
- Kepercayaan diri yang rendah.
- Mengalami trauma.
Bahaya untuk Kemudian Hari
Kebanyakan anak menggunakan
self-harm sebagai pelarian dari realitas. Namun, tidak menutup kemungkinan resikonya akan memburuk jika tidak ditangani dengan baik. Sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan
PudMed Central menyebutkan, seseorang yang melakukan
self harm lebih rentan melakukan percobaan bunuh diri di kemudian hari.
Tanda-Tanda Anak Melakukan Self-Harming
Tidak ada batas usia kapan anak bisa mengenal dan melakukan
self harming. Seringkali anak juga menyembunyikan kebiasaan
self-harming hingga luput dari pengawasan orang tua. Dengan begitu, orang tua wajib mewaspadai tanda dan perilaku anak, seperti berikut ini:
- Luka, memar, atau bekas terbakar yang tidak jelas penyebabnya. Sering ditemukan di pergelangan tangan, lengan, paha, atau dada.
- Memakai baju dan celana panjang, bahkan di cuaca panas.
- Menolak berganti pakaian di depan orang lain, misalnya saat pelajaran olahraga atau di ruang ganti.
- Sering menarik rambut.
- Perubahan dalam kebiasaan makan, makan berlebihan atau kurang makan.
- Berolahraga secara berlebihan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Jangan segan untuk membuka komunikasi dengan anak. Tanyakan bagaimana ia bisa mengenal dan melakukan
self harm. Saat anak bercerita, jangan memarahi atau menghakimnya. Bahkan ketika akar masalahnya ada pada orang tua, terimalah dengan besar hati dan coba mencari jalan tengah untuk mengatasi permasalahan yang ada. Setelah itu, ajak anak mencari distraksi yang bersifat positif tanpa menyakiti diri.
Tetapi tidak semua anak siap dan mau berkomunikasi. Tetap tenang jika anak mulai tantrum atau menolak bercerita. Beritahu anak kalau ia bisa berbicara pada orang tua kapan saja. Namun ketika kondisi semakin memburuk dan anak semakin tertutup, segera minta pertolongan pada psikolog atau tenaga ahli lainnya.
Semoga anak kita bisa terbebas dari perilaku
self-harm, ya Bun!
Penulis: Ghina Athaya
Baca Juga:
Buah dan Sayur Ampuh Perbaiki Kondisi Mental Anak
8 Kebiasaan Sehat untuk Menjaga Kesehatan Mental
Mental Sehat, Anak Tumbuh Percaya Diri