Jadikan Anak Pelopor dan Pelapor? Begini Caranya!
Salah satu subtema dari HAN tahun 2024 ini adalah “Dare to Lead and Speak Up: Anak Pelopor dan Pelapor”. Simak dulu pembahasannya.... read more
Sesekali bertengkar wajar saja dalam sebuah rumah tangga. Tapi bila terlalu sering sampai menimbulkan kerusakan, otak anak jadi taruhannya.
Jarang ada rumah tangga yang adem tentrem. Beda pendapat mengasuh anak, beda cara mengelola keuangan, bisa memicu pertengkaran. Persoalannya, apakah pertengkaran itu disaksikan oleh anak, atau bunda dan ayah melakukannya dalam senyap - jauh dari anak-anak.
Le Naya Smith, family dan play therapist menyatakan bahwa anak-anak selalu terkoneksi dengan orang tuanya. Anak-anak dapat merasakan apa pun yang kita sendiri tidak sadari, meski anak masih bayi. Sudah ada beberapa riset yang menyebut, bayi dapat merasakan stress yang dialami ibunya. Karena pada kenyataannya sejak dalam kandungan pun janin sudah punya kemampuan untuk merasakan stress ibunya.
Dampak pertengkaran pada bayi
Riset tahun 2011 menyebut, kortisol ibu (hormon stress) dapat masuk ke dalam placenta karena dibawa oleh aliran darah, dan membuat janin ikut mengalami stress tinggi. Janin yang sering stress di dalam rahim akan lahir dengan kadar kortisol yang lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang ibunya tidak stress. Chad Radniecki, seorang psikolog anak mengatakan, hal itu disebabkan karena sejak di dalam kandungan sistem saraf janin sudah terbentuk.
Riset tahun 2010 menyebut, bayi usia 6 bulan dapat menunjukkan reaksi stress terhadap ekspresi wajah yang marah. Bayi yang sering terpapar pertengkaran detak jantungnya cepat, yang juga berarti bahwa itu merupakan responnya terhadap hormon stress. “Yang mentrigger bayi bukan kata-katanya, tapi intonasi, volume dan reaksi wajah yang lebih berdampak pada respon stress bayi,” ujar Jennifet Tomko, seorang psikoterapis dan pemilik Clarity Health Solution, Louisville - Kentucky, AS.
Bayi lahir butuh rasa aman, dan butuh membangun kepastian bahwa kebutuhannya akan selalu terpenuhi. Teriakan atau kata-kata serangan dirasakan bayi sebabai sesuatu yang tidak aman, yang dapat melepas hormon stress dan membuatnya memilki perasaan tidak senang.
Apakah ini akan berdampak ke depannya, sangat tergantung pada:
- Tingkat atau intensitas pertengkarannya
- Frekuensi pertengkarannya
- Temperamen bayi
- Persepsi bayi tentang rasa aman sebelumnya
“Kalau bayi melihat ibunya menangis, bayi juga akan mulai menangis,” kata Tomko. Kalau bayi didukung dan diberi rasa aman, digendong dan dipeluk, kemudian diajak bermain, ia akan segera memperoleh kembali rasa amannya.
Tetapi ketika mendengar pertengkaran kemudian dibiarkan tidak diberikan rasa aman, hasilnya akan berbeda. Tomko menyatakan, kalau rasa ada bahaya itu terus berulang, respon stress akan selalu berada di level atas (tinggi).
Stress terus-terusan pada bayi akan menyebabkannya memiliki perasaan takut berpisah, rewel, dan mengalami gangguan tidur.
Pada anak kecil yang sudah bisa bicara, bahasa dan gaya komunikasi orang dewasa di sekitarnya akan ditiru, termasuk pilihan kata, intonasi, dan volume. Anak kecil akan menunjukkan kepada Anda cara mereka mengintpretasi pertengkaran dengan cara mereka bicara dengan orang lain saat marah. Dia mungkin akan lebih sering ngamuk, selalu bermasalah dengan teman, atau mengalami kesulitan dalam mengekspresikan perasaan dan ide-ide yang rumit dalam cara yang tenang. Selanjutnya, anak akan jadi sulit fokus, mengalami kecemasan dan mengembangkan masalah-masalah perilaku.
Riset 2012 pada anak usia TK ditemukan, anak-anak yang orangtuanya sering bertengkar hebat mengalami depresi, kecemasan dan masalah-masalah perilaku, begitu mereka masuk kelas 7 (SMP).
Riset 2015 menyebut, terlalu banyaknya pertengkaran keluarga dapat mengubah struktur otak anak dan memroses emosi dengan cara yang berbeda. Mereka akan lebih banyak mengalami tantangan sosial kelak.
Suka tidak suka, orangtua adalah role model untuk anak dalam segala hal. Hasilnya adalah anak-anak meniru pola relasi kita. Anak-anak muda akan meniru apa yang dia lihat dari orangtuanya dalam hal berhubungan dengan teman sebayanya. Mereka akan menunjukkan bahwa mereka telah belajar cara Anda berkomunikasi atau menangani masalah, yaitu dengan bertengkar.
Di usia dewasa, pertengkaran akan berdampak pada apa yang sudah dilihat anak sebagai perlakuan yang dapat diterima, dan pada perilakunya dalam hubungan romantisnya kelak.
Cegah dampak jangka panjangnya
Satu kali pertengkaran dengan pasangan tidak akan punya dampak jangka panjang. Sesekali bertengkar atau berdebat, belum tentu akan jadi masalah. Dalam perkawinan, berdebat itu normal, dan kebanyakan tidak berdampak pada perkembangan anak.
Masalah serius cenderung muncul bila anak-anak yang menjadi sumber pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan. “Anak-anak adalah mahkluk yang sangat tangguh dan kita tidak boleh memaksa diri untuk menjadi sempurna. Berdebat sesekali atau nada suara agak meninggu, tidak akan berbahaya,” demikian Radniecki.
Perbedaan pendapat, proses belajar anak
Riset tahun 2016 menyebut bahwa tegangan yang tidak diturunkan setelah orang tua bertengkar dapat menimbulan kecemasan, depresi dan fobia sosial, riset tahun 2017 menyebut, anak-anak remaja atau SMP yang orangtuanya menyelesaikan pertengkarannya dengan damai, memiliki kemampuan mengatasi konflik dengan baik.
Riset yang sama juga menunjukkan bahwa orang tua yang saling mengekspresikan kehangatan dan empati selama bertengkar, memberikan rasa aman pada anak. Anak-anak akan tahu bahwa keluarganya akan baik-baik saja.
Riset tahun 2009 menujukkan juga bahwa anak-anak yang orangtuanya bertengkar dengan konstruktif menunjukkan keterampilan sosial yang lebih baik dengan teman-teman sekelasnya dan punya empati yang besar.
Terimalah bahwa Anda tidak dapat menghindari konflik, tapi jadilah panutan yang baik
- Konflik bisa jadi pertanda bahwa sebuah relasi itu baik. Konflik dapat membantu pasangan untuk bergerak dan berkembang.
- Hal terbaik yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah menjadi role model bagaimana bertengkar dalam cara yang sehat.
Saran Radniecky:
- Gunakan “I message”. Fokus pada kebutuhan dan pengalaman emosi Anda ketimbang perilaku pasangan Anda. Misalnya “saya merasa sakit hati” atau “saya kecewa” dalam bereaksi terhadap sesuatu yang terjadi, alih-alih menuduh pasangan melakukan sesuatu pada Anda. Ini untuk menjaga agar pertengkaran tidak berubah menjadi teriakan yang saling tuduh.
- Kenali dan namai pola yang tidak sehat, misalnya mengata-ngatai, sarkas, mengabaikan perasaan pasangan atau mengungkit masa lalu. Cobalah untuk tidak melakukan itu lagi bila kapan-kapan terjadi pertengkaran.
- Tunjukkan cara mengelola kemarahan, ajarkan anak untuk dapat mengatakan apa yang ada dalam pikirannya tapi dalam cara yang sehat. Bila pertentangan semaki memanas, berhentilah dan ulas lagi pembicaraan Anda saat hati Anda berdua sudah dingin.
- Seringkali tidak produktif untuk memaksa diri kita mengatasi masalah saat marah. “Kemarahan adalah krisis respon yang dapat menutupi logika kita,” demikian pendapat Tomko.
Salah satu subtema dari HAN tahun 2024 ini adalah “Dare to Lead and Speak Up: Anak Pelopor dan Pelapor”. Simak dulu pembahasannya.... read more
Berdasarkan fakta dari KPPA RI tahun 2023 terdapat 10.932 kasus kekerasan seksual pada anak, 33.2% persen korban merupakan anak laki-laki berusia 6 hingga 12 tahun... read more
Self harm, sebuah perilaku menyakiti diri sendiri, termasuk penyakit kejiwaan dan membutuhkan pertolongan ahli kejiwaan.... read more