Lembaga riset McKinsey Institute menyebutkan tiga keahlian penting dalam dunia karier di masa depan, apapun industrinya.
Pertama, keterampilan yang melibatkan kemampuan kognitif tinggi contohnya, pemikiran kritis dan menulis.
Kedua, keterampilan yang melibatkan kemampuan sosial dan emosional, seperti komunikasi, kemampuan berempati, kemampuan untuk terus belajar.
Ketiga, keterampilan teknologi, seperti IT dan analisa data.
Di sisi lain data Women Into Workplace 2022 yang dirilis McKinsey Institute dan Linked Organization, menyebutkan ada kenaikan yang tinggi perempuan pemimpin yang memilih berhenti atau meninggalkan posisinya di perusahaan saat ini. Alasan terbanyak dari aksi tersebut adalah adanya hambatan dalam perusahaan dan kebutuhan akan perusahaan yang lebih fleksibel, memperhatikan kesejahteraan karyawan, serta memperhatikan keragaman,
equity, dan inklusivitas.
Kepemimpinan perempuan dalam dunia kerja di masa depan memiliki tantangan yang menjadi tema diskusi dalam Indonesian Women’s Forum 2022. Dengan memahami tantangan dari hasil riset dan pengalaman dari sesama wanita, diharapkan dapat ditemukan solusi untuk menjaga peluang wanita pemimpin di masa depan.
Tantangan dari Perusahaan dan Diri Sendiri
Sonia Barquin, partner McKinsey & Company Indonesia menyebutkan data bahwa tidak terjadi peningkatan yang signifikan antara tahun 2017 dan 2022 pada situasi wanita di dunia karier, meski usaha keras yang dilakukan.
Pada tahun 2022, jumlah wanita yang mengisi lapangan pekerjaan di level awal adalah 48 persen, meningkat satu persen saja dari tahun 2017. Persentase angkatan kerja wanita di level manajer naik tiga persen dari tahun 2017, menjadi 41 persen, sementara pada C level atau posisi puncak meningkat naik tiga persen menjadi 28 persen. Sebuah fakta yang menunjukkan kesenjangan gender masih lebar.
Sonia juga menyampaikan fakta yang tidak menggembirakan, yaitu banyaknya wanita pemimpin meninggalkan posisi mereka di perusahaan pada masa pandemi. Ini meningkatkan kesenjangan gender dalam dunia karier. Beberapa hal yang ditengarai sebagai penyebab para wanita pemimpin mundur antara lain menghadapi hambatan lebih besar dari perusahaan maupun kolega untuk maju serta kelebihan beban kerja namun tidak diakui oleh perusahaan. 43 persen wanita pemimpin mengalami
burnout, lebih besar dibanding pria yang angkanya 31 persen. Keinginan untuk bekerja di lingkungan dengan budaya yang lebih baik juga ikut mendorong wanita untuk keluar dari posisinya.
“Seringkali isu kesetaraan gender dianggap sebagai
gimmick atau slogan, padahal sangat jelas kaitannya dengan performa kinerja perusahaan,” ujar
Emma Sri Martini, Direktur Keuangan PT Pertamina (persero).
Ia menyampaikan, di Pertamina, wanita pemimpin masih minim di antara 48 ribu keseluruhan karyawan Pertamina. Di level menengah ke atas, hanya 35% pekerja perempuan. Di level
sub holding bahkan lebih sedikit lagi, yaitu hanya 17%. Ia menampik anggapan bahwa perusahaan minyak dan gas persepsinya pekerjaan pria.
Tantangan wanita di dunia kerja menurut
Vina A. Muliana, seorang staf sumber daya manusia di BUMN yang juga content creator bahkan dimulai sejak memutuskan untuk berkarier di bidang apa. Ada kegamangan apakah ini karier yang harus tepat bagi kita, apakah karier ini bisa membawa kita ke posisi yang lebih tinggi suatu hari nanti.
Menurut Vina dari pengalamannya ia melihat banyak mahasiswa atau angkatan kerja baru yang merasa bingung saat memasuki dunia kerja. Ia pun mengalami hal yang serupa. Lulus dari fakultas pertanian, ia malah berkarier di bidang komunikasi sebelum kemudian beralih ke bidang sumber daya manusia. Fenomena mahasiswa salah jurusan seolah tak ada habisnya dari masa ke masa. Solusinya?
Solusi untuk Keuntungan Bersama
Menurut Vina, generasi angkatan kerja baru harus berani bereksplorasi. “Banyak orang bilang kita harus mengikuti
passion, dari pengalaman yang namanya passion bisa dikaitkan dengan hasil bukan dari sumber. Jangan tunggu
passion dulu kalau kita mau melakukan sesuatu tapi eksplorasi saja. Ketika kita sudah paham, kita akan tahu apakah itu cocok untuk kita. Istilahnya mungkin perlu dibalik, bukan
follow passion tapi eksplorasi karena
the passion will eventually follow you,” ujarnya.
Wanita juga tak perlu ragu untuk mencari peluang kerja di lingkup global.
Dr. Carina Citra Dewi Joe, wanita Indonesia yang kini berkarier sebagai peneliti senior di Vaccine Development Jenner Institute, Universitas Oxford, Inggris yang hadir dalam IWF 2022 mengatakan bahwa banyak peluang wanita untuk berkarier di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) di kancah global.
STEM disebut-sebut sebagai profesi masa depan, namun wanita yang berkarier di bidang ini belum sebanyak pria. Carina bilang dunia butuh kandidat terbaik, yaitu yang memiliki
hard skill dan
soft skill yang sama baiknya. Tak hanya menguasai keahlian teknik tetapi juga komunikasi.
Ia memberi contoh, saat berusaha menemukan vaksin dalam waktu yang singkat dan tim kerja yang terbentang di berbagai negara, sebagai peneliti ia perlu kesabaran menjawab pertanyaan dan mendengarkan pendapat, pintar memilih pendapat yang mendukung proyek, memberi kritik membangun dan mencari solusi bukan saling menyalahkan. Jadi bukan sekadar berkutat di laboratorium, tapi juga penting untuk menjalin komunikasi, memberi empati, dan saling menguatkan.
Untuk wanita Indonesia ia berpesan, agar tidak minder, harus percaya diri, berani menyuarakan pendapat. “Kalau punya prestasi di pekerjaan jangan minder untuk klaim prestasi tersebut. Untuk ragu untuk meraih peluang yang ada dan jangan takut mengambil tanggung jawab yang lebih besar,“ ujar wanita yang menjadi
leader di bidang bioteknologi yang mengutamakan kemanusiaan bukan sekadar profit ini.
Kiprah wanita di dunia kerja membuat perusahaan-perusahaan kini sadar perlu mengambil tindakan untuk mempertahankan karyawan wanita. Menurut Sonia, untuk mempertahankan wanita untuk terus berkarier, manajer dalam perusahaan menjadi orang yang berperan penting dalam mendukung wanita di dunia kerja.
Ketika manajer memberi dukungan secara konsisten seperti memberikan feedback atau bagaimana cara mengelola beban pekerjaan, perempuan merasa punya lebih banyak kesempatan dan aman secara psikologis, mendapatkan budaya lebih bagus, dan burnout lebih kecil dan cenderung tidak keluar dari pekerjaan. Jadi penting sekali seorang manajer memberi dukungan kepada perempuan di tempat kerja.
Penting bagi perusahaan dan pemimpin senior dalam perusahaan untuk mengatur sistem kerja sehingga tercapai
work life balance yang lebih baik. Sementara bagi karyawan wanita ia menyarankan untuk mencari
support system, terbuka untuk mencoba hal baru, dan tak sungkan mencari dukungan saat dibutuhkan baik itu keluarga atau senior. Kerja keras memang penting begitu juga koneksi dan
support system.
Sependapat dengan Sonia, menurut Emma, tugas para leader perlu membuat ekosistem yang dapat membuat wanita pekerja nyaman bekerja, yaitu dalam bentuk membuat kebijakan-kebijakan. “Tugas kita sebagai leader adalah menyiapkan
support system. Apa yang menjadi
enabler yang membuat karyawan wanita nyaman bekerja. Salah satu yang sudah kami lakukan adalah menciptakan
policy yang namanya
respectful work policy yang akhirnya diadopsi kementerian BUMN sebagai standar yang harus diaplikasikan di semua BUMN dimana para
leader harus ada afirmatif program untuk membuat
support system yang memungkinkan karyawan wanita nyaman bekerja,” ujar Emma.
Ia menjelaskan pertama harus ada afirmatif dari sisi
leader, bermula dari kebijakan. Kedua, harus ada afirmatif program terkait dengan turunan r
espectful work policy, salah satu adalah
diversity,
equity and inclusion (DEI) atau konsep keanekaragaman, kesetaraan dan inklusi yang dilekatkan pada setiap kebijakan dan semua lini baik dalam rekrutmen, penanganan proyek, dan lain-lain.
Ketiga, perlakuan terkait harassment yang baik untuk memberi rasa aman bagi perempuan. Ada ruang pengaduan dan jika diperlukan memberikan hukuman untuk memberi efek jera dan percontohan bahwa ekosistem tidak mendukung hal-hal yang membuat tidak nyaman bagi para pekerja wanita.
Yang tak kalah penting menurut Emma adalah
mentorship,
coaching, dan
scholarship yang memungkinkan para
women leader untuk lebih maju. Pengakuan menurut Emma juga perlu digarisbawahi. Generasi
zilennial menurut pandangannya merupakan generasi yang haus pengakuan sekaligus diberikan tantangan dan tanggung jawab.
Nuri Fajriati - Kontributor