“Aamm, ayo buka mulutnya!” tukas Sarah pada si satu tahun, Vino. “Ayo, Nak, ini enak, lho! Ayo, cepatlah, jangan menghindar lagi!” Kali ini Brenda tak hanya “mengejar” mulut si kecil tetapi sudah mulai menyodorkannya tepat di muka bibir yang terkatup rapat.
“Sudahlah, Ma, jangan dipaksa, biarkan ia bermain. Nanti kalau lapar pasti ia mau makan,” Dendy, sang suami mulai memprotes. “Papa, selalu begitu, tidak, ini tidak benar. Anak harus belajar disiplin sejak dini. Sekali ia diberi kelonggaran dalam berdisiplin ia akan sulit sekali belajar aturan,” kali ini nada Brenda tak kalah tinggi. Dan, pertengkaran itu pun tak terhindarkan.
Bagian dari kehidupan keluarga. Berbeda pendapat adalah hal yang manusiawi. Tentu tak jarang ini terjadi saat Anda bersama pasangan mengarungi bahtera rumah tangga. Tetapi ketika perbedaan pendapat dalam mengasuh anak terjadi, perlukah berkembang menjadi pertengkaran suami-istri?
Menurut pengalaman dan pengamatan, psikolog dan konsultan keluarga asal Jerman, Hans Berwanger, perbedaan pendapat dan pertengkaran telah menjadi bagian dari kehidupan keluarga muda. Apalagi dengan berbeda latar belakang pendidikan dan keluarga, pandangan, pendapat dan kecemasan setiap ayah dan ibu pasti berbeda-beda.
“Apabila ayah atau ibu memformulasi pandangan, pendapat dan kecemasan secara tidak tepat, maka harapan dan kebutuhan diri menjadi tertekan,” jelas Hans. Kendati pertengkaran adalah bagian dari sebuah proses, tetapi tentu saja, bertengkar di hadapan anak-anak kurang mendukung pendidikan nilai-nilai.
Bayi dan balita membutuhkan aturan dan batasan-batasan yang jelas. Sehingga ketika Anda dan pasangan berdebat saat sedang mendisiplin si kecil, misalnya, maka ini hanya akan membentuk kepribadian anak yang penuh keragu-raguan.
Berbeda boleh, asalkan …. Hans tak menampik, memperlihatkan kenyataan bahwa ayah dan ibu punya pendapat berbeda adalah hal yang juga penting. Dengan mengamati adanya perbedaan pendapat dalam membesarkannya, si kecil sekaligus belajar cara menyelesaikan persoalan. “Apabila orang tua menempuh jalan “damai” maka tanpa sadar si kecil akan belajar secara konstruktif berhadapan dengan perbedaan pendapat.
Berikut ini beberapa tips dari Hans untuk pasangan muda yang kerap bertengkar hanya gara-gara anak:
- Hindari penilaian. Seruan dan ujaran seperti, “Kamu tidak pernah suka kalau …”, “Seandainya kamu peduli…”, “Kamu tidak tahu apa-apa, coba kamu ada di posisi saya ..”. Kalimat seperti itu merupakan “pukulan KO” untuk upaya membahas perbedaan secara konstruktif. Seolah semua kesalahan ditimpakan pada lawan bicara.
Hans menyarankan agar pasangan suami-istri memformulasikan harapan yang tersembunyi di balik tuduhan atau penilaian tersebut menjadi bentuk yang lebih to the point, yaitu yang menjelaskan harapan dan keinginan.
- Sisihkan waktu. Banyak konflik kecil berakhir menjadi pertengkaran suami-istri yang hebat karena pasangan muda kurang waktu untuk membahasnya satu persatu. Untuk itu, Hans menyarankan pasangan suami-istri menemukan waktu yang pas untuk membahas sesuatu yang penting. Terutama, semua yang berhubungan dengan pengelolaan rumah tangga.
“Tentukan sebuah waktu khusus, meskipun hanya satu jam, satu kali setiap minggu. Di momen yang tenang, biasanya hal-hal yang kurang menyenangkan dapat dibahas dalam suasana yang lebih menyenangkan dibandingkan di momen dengan jadwal yang padat”, jelas Hans.
- Cari jalan keluar. Dalam keseharian bersama anak ternyata terkadang tak ada kata “benar” atau “salah”. Sehingga, dalam praktek, mengasuh anak tidak harus mengikuti sebuah prinsip saja. Bisa saja prinsip yang selama ini kita anggap kurang baik adalah pendekatan yang pas untuk karakter si kecil.
“Semacam sebuah eksperimen kecil dapat dilakukan oleh Anda dan pasangan. Misalnya, dengan membiarkan satu minggu si kecil diasuh dengan prinsip ibu dan satu minggu berikutnya dengan gaya pola asuh ayah”. Dari situ evaluasilah, mana cara yang paling pas untuk mengatur kehidupan bersama anak-anak.
- Berkompromi. Berkompromi bukan berarti “kalah” dan membiarkan pasangan “menang”. Kompromi didasarkan pada rasa saling menghormati. Sebagai contoh, biasanya, ibu lebih hati-hati dibandingkan ayah, dan ketika suatu waktu ayah dan ibu berselisih pendapat tentang kegiatan outdoor untuk si kecil, baik ayah maupun ibu harus saling menghormati pertimbangan masing-masing.
Misalnya, ibu khawatir si kecil terjatuh dan cedera, maka ayah harus menghormati pertimbangan ini. Demikian pula ketika ayah memutuskan mengajak si kecil berkegiatan outdoor dengan pengawasan dirinya. (Foto/Dok.Ayahbunda)