Berikut 10 situasi yang sering memicu rasa takut anak atau balita. Mengapa dan bagaimana mengatasinya?
1. Takut berpisah.
Ketakutan anak untuk berpisah dari orang yang sangat dekat secara emosional, umumnya terjadi saat ia berumur antara 14-18 bulan hingga 2 tahun. Selain ayah dan ibu, orang-orang terdekat lain bisa jadi adalah nenek, kakek, om, tante, dan baby sitter atau pengasuh.
Bantu mengatasinya dengan:
- Menyediakan waktu rutin untuk menjalin ikatan batin (bonding). Misalnya, bermain “ciluk ba” dengan selimut di tempat tidur sebelum Anda berangkat kerja
- Meninggalkan barang “berharga” simbol keberadaan Anda. Contohnya, foto Anda bersama anak atau mainan yang sering dimainkan bersama Anda
- Menjelaskan kepada anak bahwa setiap kali Anda atau orang-orang dekatnya pergi, pasti akan kembali.
2. Takut makanan baru.
Anak kadang takut menyentuh, mencicipi atau bahkan mendekati makanan baru. Menurut riset dr. Dasha Nicholls, dokter anak dari Institute of Child Health, London, Inggris, ketakutan anak terhadap makanan baru bisa juga disebabkan oleh trauma tersedak makanan yang pernah dialaminya. Takut pada makanan baru ini umumnya dialami anak usia 4 tahun.
Bantu mengatasinya dengan:
- Menyajikan makanan “baru” berulang kali sampai anak menjadi terbiasa melihat orang-orang menikmati makanan tersebut dan semua orang baik-baik saja.
- Mengenalkan beragam bentuk variasi dari makanan baru yang ditakuti anak. Misalnya, bila ia Anda takut makan salad, coba sajikan salad buah berisi potongan aneka buah segar kesukaannya.
- Menemani anak makan jenis makanan yang ditakutinya sambil mengalihkan perhatiannya terhadap makanan tersebut. Ajak ia mengobrol hal yang sedang menarik perhatian anak saat itu.
3. Takut gelap.
Di usia 2-5 tahun daya imajinasi anak sedang berkembang pesat. Namun di sisi lain, anak kadang takut terhadap imajinasi yang ia ciptakan sendiri. Inilah yang memicu rasa takut terhadap sesuatu yang membuat anak merasa “terancam” atau membayangkan ada “bahaya” yang mengintainya.
Bantu mengatasinya dengan:
- Mengajak anak membuktikan bahwa benda-benda di dalam kamarnya tetap sama, saat terang maupun gelap. Jelaskan, jika lampu dimatikan dia tidak mampu melihat seluruh benda di dalam kamarnya. Jadi, tidak ada monster di dalam kamarnya, seperti yang dia bayangkan.
- Mengajak anak melihat sudut-sudut kamar yang gelap dengan menggunakan lampu senter. Tunjukkan juga benda-benda yang ada di dalam lemari dan kolong tempat tidurnya.
- Kenalkan pada anak bahwa keadaan gelap dapat dimanfaatkan untuk bermain. Ajak ia bermain dengan senter dan membuat bayang-bayang lucu di dinding dengan menggunakan jari tangan atau kaki.
4. Takut film.
Mulai usia 2 tahun kemampuan anak mengingat semakin berkembang dan mampu menyimpannya dalam jangka waktu lama. Itu sebabnya, berbagai pengalaman yang baik atau buruk, akan terekam di dalam pikirannya, termasuk saat menonton film.
Bantu mengatasinya dengan:
- Membiarkan dia menutup mata atau membantunya menutupi mata saat adegan yang dia takuti terpampang di layar.
- Hentikan film dan menggantinya dengan film dengan tema yang tidak menakutkan.
- Menjelaskan kepada anak jika adegan tersebut hanya pura-pura. Tapi, jelaskan pula bahwa dalam kehidupan nyata, kadangkala hal-hal tidak menyenangkan memang dapat terjadi.
5. Takut mimpi buruk.
Ketakutan anak biasanya muncul di usia 2 tahun. Ini berkaitan dengan imajinasi anak yang berkembang, yang kadang memicu ketakutan saat matanya terpejam. Sejalan dengan kemampuannya memahami realita kehidupan, dia mulai punya konsep bahwa hal-hal buruk seperti di dalam mimpinya juga dapat terjadi dalam kehidupan.
Bantu anak mengatasinya dengan:
- Menenangkan anak sampai ia merasa nyaman dengan. memeluk atau mendekapnya. Bila perlu nyalakan lampu sampai anak tenang. Setelah dia tidur kembali, redupkan lampu kamarnya.
- Menarik selimutnya hingga menutupi kepala anak dan membalikkan sisi bantal untuk “mengusir” mimpinya agar tidak datang “mengganggu” tidur si kecil lagi.
- Membantu menolong anak agar dapat mengembangkan kemampuannya untuk menenangkan diri dan mengatasi rasa takutnya. Misalnya, berikan boneka atau guling untuk dipeluk anak dengan erat.
6. Takut suara tertentu.
Anak-anak ada yang cenderung sensitif terhadap suara seperti petir, penyedot debu, juicer atau bahkan suara flush toilet. Bagi mereka gerakan dan suara yang tiba-tiba muncul memicu reaksi psikologis yang kuat, dan biasanya muncul dalam bentuk rasa takut.
Bantu anak mengatasinya dengan:
- Memberi kesempatan kepada anak untuk mengatasi ketakutannya dengan caranya sendiri. Misalnya, menutup kedua telinga dengan tangan, bersembunyi di dalam selimut sambil menutup kepala dengan bantal.
- Tunjukkan pada anak bahwa mesin penyedot debu, juicer atau flush tidak akan menggigit atau menyakiti. Perlihatkan padanya kegunaan masing-masing alat tersebut dan minta ia membantu menekan tombol off dan on.
- Jelaskan bahwa petir tidak berbahaya jika ia berada di dalam ruangan yang tertutup. Tekankan padanya untuk segera berada di dalam ruangan jika ada petir saat ia berada di luar ruangan.
7. Malu bertemu orang baru.
Ada balita yang harus menyesuaikan diri terlebih dahulu dengan segala sesuatu yang baru dilihat dan dikenal. Mereka butuh “pemanasan” sebelum mampu menerima segala sesuatu yang serba baru tersebut, termasuk orang-orang baru. Mereka kerap menunjukkan reaksi ketakutan ketika bertemu dengan orang baru.
Bantu menghadapinya dengan:
- Memahami bahwa balita Anda tergolong anak yang lama 'panasnya', maka, kenalkan secara bertahap kepadanya sisi-sisi menarik dari orang tersebut yang menggali rasa ingin tahunya.
- Mengajak ia duduk bersama sambil bermain dengan melibatkan orang baru, tanpa memaksa anak untuk berhubungan langsung. Jadikan diri Anda sebagai perantara.
- Menceritakan pengalaman Anda ketika pertama kali bertemu seseorang, misalnya badut yang semula Anda sangka menakutkan ternyata setelah mengenalnya lebih jauh badut itu sangat lucu.
8. Takut air.
Ada anak yang memang secara genetik mewarisi rasa khawatir atau takut terhadap air. Ada pula yang memiliki rasa takut terhadap air karena pengalaman buruk misalnya, pernah diguyur air atau pernah tercebur ke dalam kolam renang tanpa persiapan.
Bantu mengatasinya dengan:
- Menanamkan kesan pada anak bahwa air adalah sarana bermain yang mengasyikkan. Caranya antara lain dengan mengajaknya mencuci mobil, menyiram atau sekadar menikmati pemandangan di pantai.
- Membiasakan anak “bersahabat” dengan air secara bertahap. Misalnya, dengan bermain air di bak mandi, di kolam renang sambil membawa beberapa mainan air.
- Mengajak menonton film tentang kehidupan anak-anak pantai yang menjadikan air sebagai bagian dari kehidupan mereka.
9. Takut memanjat
Ada anak yang takut memanjat. Anak tipe anak ini umumnya memilih untuk bermain secara “aman” dan menghindari berbagai aktivitas yang berisiko membuatnya terjatuh. Namun anak perlu dilatih keberaniannya.
Bantu mengatasinya dengan:
- Dorong anak untuk mampu melakukannya secara dengan cara dan sudut pandang anak. Misalnya dengan meletakkan sesuatu yang ia sukai di atas undakan atas dan minta ia mengambilnya.
- Latih ia menaiki tangga cukup 1 atau 2 tingkat lebih dahulu. Setelah keberanian anak mulai muncul, baru tambahkan lagi 1-2 lebih lanjut.
- Menciptakan pengalaman yang menyenangkan dari kegiatan memanjat. Misalnya, ajak anak naik ke atas pohon buah yang rendah untuk memetik buahnya atau ajak bermain di rumah pohon
10. Takut binatang.
Bila Anda termasuk orang yang takut terhadap binatang, kecil maupun besar, seperti kecoa, maka Anda akan dapat memahami jika anak takut terhadap binatang. Tidak sedikit balita yang merasa tidak nyaman, bahkan ketakutan bila berada di dekat jenis hewan apa pun.
Bantu anak mengatasinya dengan:
- Menggandeng tangannya ketika melewati hewan yang ditakutinya. Bila dia tetap tidak merasa nyaman, Anda bisa menggendongnya.
- Menunjukkan kepada anak bahwa hewan yang ia takuti, umumnya anjing dan kucing, dapat menjadi sahabat dan teman bermain yang menyenangkan.
- Membacakan buku cerita tentang binatang (fabel) atau film tentang hewan-hewan yang memiliki karakter bersahabat dengan manusia dan bahkan kerap menolong manusia.
KONSULTASI: MUHAMMAD RIZAL, Psi., PSIKOLOG DARI LEMBAGA PSIKOLOGI TERAPAN UNIVERSITAS INDONESIA, JAKARTA