Pierre Robin Sequence
Melihat Kirana Aisha Putri Wibowo, putri saya, Wynanda Bagiyo Saputri, kebanyakan orang akan bereaksi, “Wah, lucu banget, imut, seperti boneka!” Tak berlebihan karena Kirana yang berusia 2 tahun pada 8 Februari 2016 ini memiliki wajah dan tubuh yang termasuk mungil untuk anak seusianya. Dagu Kirana pun sempit, sehingga membentuk gap selebar 1,5cm antara rahang atas dengan rahang bawah, sehingga kalau dilihat dari bawah, gusinya yang atas kelihatan.
Namun penampilan fisik Kirana yang menggemaskan itu, ternyata disebabkan oleh gangguan genetik langka. Terlahir dengan status KMK (Kecil Masa Kehamilan), berat badannya 2.03 7 gram pada usia kandungan 37-38 minggu, putri kedua saya itu didiagnosis dengan Pierre Robin (dibaca: Robang) Sequence atau PRS. Saat lahir, Kirana tidak menangis, dan segera dilarikan ke NICU. Selama 27 hari Kirana dirawat di rumah sakit.
Tidak bisa menyusu
PRS adalah gangguan genetik langka – angka kejadiannya di dunia adalah 1 per 8.500 kelahiran hidup – yang ditandai ukuran dagu yang terlalu kecil (micrognathia) atau rahang bawah terlalu mundur (retrognathia). Kondisi tersebut menyebabkan struktur rahang Kirana tidak normal. Lidahnya mudah turun, dan sewaktu-waktu bisa menutup jalan napas. Kirana hanya boleh diposisikan miring atau tengkurap saat tidur. Nyawanya bisa terancam jika ia sampai tidur terlentang.
Tak hanya itu, hasil pemeriksaan menunjukkan langit-langit mulut Kirana bermasalah – ia memiliki high-arched palate – sehingga sulit menyusu langsung. Sebulan pertama, ia hanya bisa minum melalui selang di hidung. Meskipun demikian, saya tetap bertekad agar Kirana bisa mendapatkan ASI. Saya memutuskan melakukan exclusive pumping (EPing), sambil tetap mencoba melatih Kirana menyusu langsung. Dari informasi yang saya dapatkan, hampir mustahil bagi anak PRS untuk bisa menyusu, meski rahangnya telah berkembang. Karena itu, saya harus mencari posisi yang tidak umum agar bisa menyusui Kirana.
Memang tidak mudah, karena saya harus memompa ASI setiap tiga jam sekali, dengan durasi 30-60 menit per sesi, menyuapi Kirana ASIP setiap tiga jam sekali, yang bisa berlangsung selama 1-2 jam, sambil tetap mengurus Kasih Aulia Putri Wibowo (6), anak pertama saya.
Selain itu, saya pun harus terus mencari informasi tentang PRS. Belum lagi bolak-balik ke rumah sakit untuk melakukan konsultasi dan terapi untuk Kirana, kemudian melanjutkan terapi tersebut sendiri di rumah. Hampir semuanya saya tangani sendiri, karena suami sibuk dan sering dinas luar kota. Selain itu, saya juga harus pandai-pandai mengelola emosi dan suasana hati, karena erat kaitannya dengan suplai ASI. Semua demi Kirana agar tetap bisa mendapatkan ASI.
Untung, saat Kirana berusia 5 bulan, ada teman mengirimkan Haberman Feeder, media pemberian cairan yang dirancang khusus untuk anak-anak dengan hambatan menyusui. Menggunakan dot khusus tersebut, waktu pemberian ASIP jadi lebih singkat dan juga efisien. Dan ketika Kirana berusia 8 bulan, seorang ibu EPing dari grup di luar negeri mengirimkan breastpump yang tipe double pump, sehingga mempersingkat durasi memompa ASI jadi tinggal setengahnya.
Begitu banyak masalah tumbuh kembang
Di luar rongga mulut, dokter menemukan gangguan lain, seperti lingkar kepala yang kecil (microsefalus), lubang kecil di jantung, dan juga perdarahan retina. Kirana juga mengidap global developmental delay (GDD), yang membuat tumbuh kembangnya terhambat. Bahkan pada umur 5 bulan, karena pertambahan beratnya di bawah normal, ia susah bertambah berat badan, ada dokter yang bilang kalau Kirana gagal tumbuh! Gerakan Kirana kaku, kadang spastik atau mengejang. Ia tidak tertarik dengan mainan, termasuk mainan yang mengeluarkan aneka suara atau rattle, yang biasanya sangat menarik bagi bayi seusianya.
Dan setelah Kirana melakukan tes BERA dan ASSR (auditory steady state response), untuk menguji kinerja seluruh alat pendengarannya, dari gendang telinga sampai ke otak, ia didiagnosis mengalami gangguan pendengaran ringan (ambang dengarnya 40dB), sehingga tidak jelas, jika mendengar hubuf konsonan, namun masih mendengar jelas untuk huruf vokal. Lalu sesudah Kirana menjalani tes colon in loop/barium enema, ia juga didiagnosis menderita puborectal sling syndrome, di mana otot puborektalnya terlalu kencang atau kuat, sehingga menahan feses, dan redundant colon sigmoid, yaitu ukuran kolon yang lebih panjang dari normal. Kedua kondisi tersebut menimbulkan masalah pencernaan pada Kirana. Ia memang mengalami konstipasi kronik. Pokoknya, dari ujung kepala sampai ujung kaki Kirana, ada saja gangguannya.”
Dari tujuh dokter spesialis mata yang saya datangi untuk menanyakan kondisi Kirana, dan apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya, enam dokter menjawab tidak ada yang bisa dilakukan. Hanya satu dokter yang mengatakan kondisi Kirana akan dipantau, jika diperlukan, nanti dilakukan rekonstruksi atau perbaikan secara bertahap. Dokter itu juga menyarankan agar saya mencari informasi dari komunitas PRS di luar negeri. Namun bukannya menyurutkan semangat saya, hal itu malah semakin semangat mempelajari lebih banyak tentang PRS.
Bertemu dan mendirikan komunitas PRS
Saya menemuikan fanpage PRS Foundation, yang berpusat di Cape Town, Afrika Selatan. Dan untuk meningkatkan awareness terhadap PRS di Indonesia, dan menjadi wadah berbagi pengalaman, saya membuat komunitas Sahabat PRS di Facebook pada 5 September 2014, bertepatan dengan International PRS Day.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya, Kirana yang terlahir dengan PRS, kurang mendapat perhatian dan tindakan yang memadai. Bahkan untuk mengurai rangkaian gangguannya, kami harus berjuang sendiri, mencari info ke komunitas di luar negeri, dan sharing dengan beberapa orang tua di Indonesia. Saya juga yakin, masih ada bayi-bayi lain yang terlahir dengan PRS, namun belum terdiagnosis. Dokter sekalipun ada yang tidak memahami sindroma ini.
Hampir tiap pekan saya membawa Kirana ke rumah sakit untuk mengonsultasikan perkembangannya, mulai dari dokter anak, genetika, gizi, hingga tumbuh kembang. Dan berkat kegigihan saya, hingga saat ini Kirana sanggup bertahan, bahkan mengalami banyak kemajuan. Rahang bawahnya dikatakan sudah mengalami perbaikan, meski tetap lebih kecil dibandingkan anak kebanyakan. Sesekali ia masih mengalami stridor atau napas berbunyi 'grok-grok' saat tidur, namun tidak separah waktu kecil.
Tahun pertama ini merupakan tahun terberat saya, tetapi PRS journey kami masih panjang. Sudah menjadi kewajiban saya untuk memperjuangkan semua yang terbaik untuk Kirana. Titik kritisnya memang setahun pertama. Ada yang di usia 2 bulan meninggal karena gagal napas, dan tidak sempat terdiagnosis.
Meski demikian, Kirana yang murah senyum, selalu ceria, dan mudah tersipu malu ketika diajak bercanda, mengajarkan saya banyak hal, mulai dari kekuatan, semangat, keteguhan hati, keikhlasan, rasa syukur, dan keajaiban. Saya benar-benar bangga kepada pejuang kecil saya yang kuat ini.”
3 dari 10 anak Indonesia mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesehatan anak saat bermain di luar.... read more